Tiga Tahun Terakhir, Kasus TBC di Samarinda Capai 7.742 Orang

Devi Nila Sari
4 Views
Ilustrasi penderita TBC. (Istimewa)

Kasus TBC di Samarinda terus alami peningkatan. Angka penderita bahkan mencapai 7.742 kasus dalam tiga tahun terakhir.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kasus penderita Tuberkulosis atau biasa dikenal TBC atau TB di Samarinda terus alami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda, tercatat jumlah kasus TBC di Samarinda mencapai 1.456 pasien pada tahun 2021.

Angka ini meningkat menjadi 2.167 kasus pada tahun 2022. Kemudian, kembali mengalami peningkatan di 2023 menjadi 4.119 kasus. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kasus TBC di Samarinda mencapai 7.742 kasus.

Dengan jumlah tersebut, Kota Samarinda menjadi salah satu dari 3 kota dengan kasus TB tertinggi di Provinsi Kaltim, selain Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Hal inipun menjadi perhatian serius pemerintah. Sebab, menurut Global TBC Report (WHO, 2022), Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India dalam jumlah kasus TBS. Proyeksi tahun 2024 mencapai 1.060.000 kasus, menjadikan TBC sebagai masalah nasional setelah stunting.

Tingginya angka penderita TB di setiap kabupaten dan kota disebut karena lemahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri. Karena masih ada stigma di masyarakat bahwa TBC adalah penyakit tidak baik, sehingga penderita kerap merasa malu apabila tetangganya mengetahui tentang hal tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah terus menggaungkan perlunya edukasi bersama. Untuk merubah stigma  masyarakat, dan mendorong penderita TB untuk memeriksakan diri. Sebagai upaya penemuan kasus sedini mungkin agar pengobatan bisa dilaksanakan secara tuntas sampai sembuh.

Laras Foundation: Stigma Buruk Sebabkan Penderita Enggan Berobat

Direktur Laras Foundatio Andi Muhammad Aslam mengungkapkan, penderita TBC kerap mendapat stigma buruk masyarakat. Hal inipun bisa menurunkan kepercayaan diri penderita dan membuat mereka bersembunyi, bahkan enggan berobat.

Kemudian, berdampak pada tingginya jumlah penderita TB di Indonesia. Padahal, penyakit ini bisa disembuhkan asalkan rutin berobat.

Pihaknya pun mengajak masyarakat berhenti memberikan stigma buruk pada penderita TBC. Bahkan, merubah stigma untuk mendorong mereka agar segera memeriksakan diri.

“TBC tidak semenyeramkan Covid-19. TBC bisa disembuhkan, asalkan penderitanya mau memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan mengikuti pengobatan secara teratur selama 6 bulan,” terangnya saat memberikan sambutan di Hotel Aston, Samarinda, Jumat (15/12/2023).

Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan layanan pengobatan gratis selama 6 bulan untuk penderita TB. Oleh karena itu, penderita diminta segera memeriksakan diri apabila mendapati ciri-ciri TBC.

Serta, tidak melakukan diagnosis diri sendiri dan membeli obat sembarangan tanpa petunjuk dokter. Ini juga mempengaruhi masih banyaknya kasus TBC di Indonesia.

“Perlu kerja sama untuk merubah kebiasaan masyarakat dalam menanggulangi TBC. Kami terus berusaha mengubah stigma negatif di masyarakat,” ujarnya.

Target Eliminasi TBC di 2030

Menanggapi hal ini, Baharuddin, Pengelola Program TB Dinkes Samarinda, menggarisbawahi bahwa TBC merupakan masalah global.

“Indonesia, menempati posisi kedua terbanyak di dunia setelah India. Estimasi kasus TB di Indonesia pada 2024 mencapai 1.060.000 kasus. Di Samarinda, pada tahun 2023 saja, tercatat 4.119 kasus TB,” tuturnya.

Kendati demikian, Indonesia telah berkomitmen mencapai eliminasi TB pada 2030 dan mengakhiri epidemi pada 2050. Untuk merealisasikan hal ini, Dinkes Samarinda melakukan kerjasama dengan sektor pemerintah, non-pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Sejak 2022-2023, dinkes telah melakukan MoU dengan 65 klinik dan 14 rumah sakit, termasuk melibatkan organisasi masyarakat seperti PKBI dan PPTI.

Dalam mencapai eliminasi TB 2030, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda intensif melakukan investigasi kontak pasien TB, skrining di populasi khusus. Serta, menyediakan sarana diagnosis dan obat anti-TB bermutu secara gratis.

Meskipun demikian, tantangan utama adalah pasien yang putus berobat, disebabkan oleh sugesti kesembuhan sebelum pengobatan selesai, efek samping obat, dan stigma di masyarakat.

Untuk mendukung itu, peraturan wali kota pun sedang disusun terkait penanggulan TB di Samarinda. Ia pun meminta dukungan dari semua pihak. Termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, media massa, LSM, dan masyarakat, yang menjadi kunci utama dalam menanggulangi permasalahan ini.

“Sinergi yang kokoh diharapkan dapat membawa Kota Samarinda menuju eliminasi TB pada tahun 2030,” tutupnya. (*)

Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *