
Banjir dan krisis air bersih menghantui, Bontang disebut darurat bencana ekologis. Banjir yang terjadi di Bontang disebut diakibatkan oleh masifnya kegiatan alih fungsi lahan di daerah hulu, sehingga resapan air menjadi tidak ada dan akhirnya menggenangi permukiman warga.
Akurasi.id, Bontang – Koalisi kelompok masyarakat berbasis Organisasi, Komunitas, LSM dan sejumlah individu masyarakat yang menamakan diri Warga Bontang Bergerak (WBB) menilai sudah saatnya Bontang ditetapkan sebagai daerah darurat bencana ekologis.
Ketua Srikandi Konservasi, Suryani Ino menilai, meningkatnya intensitas banjir belakangan ini yang berdampak langsung pada aktivitas masyarakat tidak dapat dianggap sepele. Dia bilang, banjir yang terjadi di Bontang diakibatkan oleh masifnya kegiatan alih fungsi lahan di daerah hulu, sehingga resapan air menjadi tidak ada dan akhirnya menggenangi permukiman warga.
“Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya respons yang serius dari pemerintah setempat,” ujarnya kepada Akurasi.id, Rabu (15/12/2021).
Selain banjir, Ino menyebut krisis air bersih juga perlu menjadi perhatian. Pasalnya, hal itu menjadi bencana yang sering dialami oleh masyarakat. Kata dia, kebutuhan air bersih masyarakat secara ideal yakni 750 liter/detik, namun PDAM Kota Bontang saat ini hanya mampu memproduksi air bersih di angka 450 liter/detik.
“Jika dipaksakan memproduksi sesuai dengan kebutuhan, akan berdampak negatif langsung pada kondisi air bawah tanah,” jelasnya.
Rencana Pemkot mengatasi krisis air bersih dengan memanfaatkan danau bekas galian tambang batubara milik PT Indominco Mandiri pun dinilai akan menjadi bom waktu kesehatan bagi masyarakat.
Dia memaparkan, pada Mei 2016 lalu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pernah mengambil 17 sampel air dari lubang bekas tambang dan saluran irigasi yang berbeda di wilayah Kalimantan Timur. Hasilnya, enam sampel air mengandung besi yang melampaui ambang batas air bersih dan tujuh sampel air memiliki kadar mangan yang melebihi batas kualitas air bersih.
“Air bekas galian tambang batubara itu mengandung segudang penyakit mematikan seperti kanker dan lainnya,” katanya.
Selain menggunakan Danau Bekas Tambang, Pemkot juga berencana untuk menggunakan waduk di Kanaan sebagai sumber air lainnya. Padahal, waduk tersebut persis bersebelahan dengan kandang ternak warga dan juga terdapat permakaman di sekitar waduk tersebut.
Menurutnya, rencana tersebut tidak masuk akal dan berpotensi mematikan kehidupan masyarakat serta patut disinyalir sebagai praktik cuci tangan Pemerintah dalam penanganan lahan bekas galian tambang.
“Kami pada akhirnya membentuk koalisi masyarakat ini (WBB) yang berfokus pada aksi menyuarakan keluhan masyarakat terkait kondisi bencana ekologis,” terangnya.
Serangkaian kegiatan kampanye “Bontang Darurat Bencana Ekologis” pun telah mereka lakukan. Beberapa waktu lalu, mereka membuat aksi kampanye terkait kondisi lingkungan hidup di 2 titik lokasi yakni Bundaran Monumen Pengabdian di Guntung, dan PLTU Bontang Lestari, tepatnya di Kampung Loktunggul.
Mereka juga menggelar diskusi publik di Perumahan Salona Baru, Kampung Selambai, Loktuan. “Rangkaian kegiatan itu kami laksanakan dengan tujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa saat ini kasus banjir dan krisis air bersih melanda, serta ekologis di Kota Bontang dalam keadaan darurat,” jelasnya. (*)
Penulis: Fajri Sunaryo
Editor: Redaksi