Kisah Ishaq Rahman dari Waru, aktivis rakyat kecil yang meniti jalan panjang hingga duduk sebagai Ketua Komisi I DPRD PPU.
Kaltim.akurasi.id, Penajam Paser Utara – Malam hari di Waru, jalanan gelap dan rusak sering kali membuat Ishaq keluar rumah. Bukan sekadar berjalan, melainkan untuk mengingatkan dirinya pada akar perjuangan: hadir di tengah rakyat.
“Kakek saya dulu, pembakal pertama di Waru, selalu turun malam melihat warganya. Saya tiru itu. Ada hal-hal yang belum sempat beliau laksanakan, dan itu menjadi tanggung jawab moral saya,” ucapnya.
Kini, Ishaq duduk sebagai Ketua Komisi I DPRD Penajam Paser Utara (PPU) sekaligus Sekretaris DPC PDIP. Namun, jalan menuju kursi legislatif bukanlah perjalanan mulus. Ia menempuhnya dengan luka, penolakan, dan ketekunan panjang.
Cinta Lama pada Banteng
Sejak SD, Ishaq sudah terpikat pada simbol banteng moncong putih. Padahal, sang ayah merupakan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (P3). Titik balik datang ketika ia menemukan buku Bung Karno Putra Fajar di lemari ayahnya.
“Saya baca berkali-kali. Saya merasa ada di dalam buku itu. Dari situ saya tahu politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi pengabdian,” kenangnya.
Masa SMP hingga SMA, ia membangun komunitas anak muda dengan simbol banteng yang disamarkan lewat logo Chicago Bulls. Tahun 1996 ia resmi mengurus kartu anggota PDIP, lalu ikut arus gerakan Mega Bintang pada 1997.
“PDIP itu rumah anak muda. Partai metal,” ucapnya bersemangat.
Namun, pintu rumah besar itu tak langsung terbuka. Saat ia membentuk PAC di Waru, Ishaq justru disisihkan karena dianggap masih anak-anak. Ia sempat berkelana ke partai lain seperti PNU, PKNU, bahkan ditawari menjadi caleg P3. Tapi kecintaannya pada ajaran Bung Karno membuatnya tetap mencari jalan pulang ke PDIP.
Aktivisme dan Advokasi
Di luar politik, Ishaq tumbuh sebagai aktivis keras kepala yang membela rakyat kecil. Awal 2000-an, ia ikut memetakan batas wilayah Waru dengan Longkali. Tahun 2002, ia mendirikan LSM Organisasi Peduli Tanah dan Hutan Adat.
“Kami advokasi petani yang berhadapan dengan perusahaan sawit, termasuk soal limbah sungai. Itu bukan perkara kecil, tapi bagian dari tanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga memimpin Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Kabupaten PPU (2013–2017), membela hak-hak buruh sawit. Di tahun yang sama, ia dipercaya memimpin Karang Taruna Kabupaten hingga 2023. Baginya, organisasi pemuda adalah ruang menempa kader sosial.
“Kalau ada konflik tanah, saya turun. Kalau buruh ditekan, saya advokasi. Kalau pemuda kehilangan ruang, saya ajak bikin kegiatan. Itu ekosistem perjuangan yang saya bangun puluhan tahun,” ujarnya.
Jalan Terjal Menuju Rumah Besar
Setelah hampir satu dekade berkelana, pada 2011 Ishaq akhirnya kembali ke PDIP. Dari situ jalannya terbuka. Ia dipercaya memimpin tim pemenangan Pilkada 2013.
“Saya bahkan kaget dimasukkan ke psikotes caleg. Awalnya nggak mau nyaleg, tapi ternyata lolos. Dari situ saya merasa punya tanggung jawab lebih,” katanya.
Langkah instan itu sempat memicu penolakan internal. Namun, ia memilih membuktikan lewat kerja keras. Hasilnya, ia meraih suara signifikan dan mendapat tempat dalam struktur partai. Tahun 2015, ia menjabat Wakil Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi, lalu naik menjadi Sekretaris DPC PDIP PPU.
“Prinsip saya, jangan pernah bilang tidak mampu. Kalau ada tugas, kerjakan. Politik bukan soal sok pintar, tapi soal kerendahan hati,” ujarnya.
Perlawanan dari Rumah Sendiri
Perjuangan Ishaq bahkan ditentang keluarganya. Sang istri awalnya menolak keras saat ia berniat maju di Pemilu 2024, begitu pula beberapa saudaranya.
“Saya bilang ini yang terakhir. Kalau saya berhenti, label gagal akan melekat sampai mati. Akhirnya keluarga pelan-pelan mendukung, walau berat,” kisahnya.
Kini, perjalanan panjang dari OSIS, pramuka, Saka Bhayangkara, LSM, SBSI, hingga Karang Taruna membentuk jejaring loyalis yang menemaninya lebih dari dua dekade.
“Politik itu bukan panggung instan. Saya bangun ekosistem dulu, baru panggung datang sendiri. Saya duduk di DPRD hari ini karena puluhan tahun turun ke masyarakat,” jelasnya.
Bagi Ishaq, politik adalah rumah. Meski pernah menolaknya, rumah itu tetap ia perjuangkan.
“Saya cinta Bung Karno. Itu pegangan. PDIP rumah saya. Dan perjuangan rakyat kecil, itu jalan saya,” katanya. (*)
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id