Perantau ungkap sejumlah keluh kesah yang mejadi alasan golput pada Pemilu 2024. Salah satunya, ihwal administrasi yang dianggap masih menyulitkan.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pesta demokrasi yang jatuh pada 14 Februari 2024, tampaknya tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya, sejumlah perantau dipastikan akan memilih untuk golput daripada menggunakan hak pilihnya.
Sejumlah keluh kesah pun disampaikan yang menjadi kendala dalam memperjuangkan satu suara itu. Dari ribetnya urusan administrasi, sampai terlambat dapat informasi mengurus surah pindah memilih yang menjadi alasan perantau pilih golput.
Seperti yang disampaikan oleh pria yang karib disapa Ipang (27). Ia mengungkapkan, tahun ini tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
“Aku enggak nyoblos. Kemarin aku sudah tanya ke panitia TPS. Katanya untuk aturan sekarang sudah enggak bisa kalau hanya mengandalkan KTP,” ujarnya di Muara Wahau, Kutai Timur, Selasa (13/2/2024).
Berdasarkan jawaban panitia TPS kepada Ipang, saat ini peserta yang tidak terdaftar pada TPS harus membawa surat yang diterbitkan oleh kecamatan atau dinas kependudukan dan pencatatatn sipil (Disdukcapil). Dengan kata lain, masyarakat harus mengurus surah pindah memilih yang memiliki jangka waktu tertentu.
Terlambat Mengetahui Jadwal Pengurusan Surat Pindah Memilih
Ia mengaku, baru mengetahui jika tanggal terakhir pengurusan surat pindah memilih pada 7 Februari 2024. Tak hanya tenggat waktu yang tersisa hanya satu hari, menurutnya, kepengurusan tersebut termasuk ribet.
“Harus minta surat domisili dari sini, terus keterangan DPT (daftar pemilih tetap) tempat asal. Jadi malas. Kirain bisa hanya menggunakan KTP, ternyata berdasarkan aturan baru UU Pemilu udah enggak bisa,” tambahnya.
Sebelumnya, ia sudah merantau dari Berau sejak 2016 hingga akhir 2021 untuk berkuliah di Unmul. Sehingga, pada pemilu 2019 lalu, ia bisa menggunakan hak suaranya melalui TPS yang dibentuk oleh BEM KM Universitas Mulawarman.
Tak berakhir sampai disitu, ia melanjutkan petualangannya dengan mengais rezeki di Balikpapan sejak 2021 hingga 2022. Saat ini, ia berpindah merantau ke Muara Wahau, Kutai Timur, untuk bekerja.
Sementara itu, jarak dan waktu menjadi alasannya untuk tidak pulang ke tempat asalnya. Apalagi Muara Wahau dan Berau memakan waktu enam jam lebih.
“Dari tempat kerja enggak ada waktu untuk libur. Jadi, habis waktu di jalan aja kalau pulang hanya untuk nyoblos,” tuturnya.
Ia pun menyayangkan hal ini. Karena tidak bisa menyumbangkan hak suaranya. “Sedih banget enggak bisa milih, suara jagoanku untuk pilpres berkurang satu dong. Aku harusnya menggunakan suaraku untuk memilih jagoanku,” tambahnya.
Administrasi yang Disyaratkan untuk Pindah Memilih Tidak Praktis
Sama halnya dengan Ipang, AA wanita yang enggan disebutkan namanya ini mengaku baru mengetahui waktu pengurusan pindah memilih TPS pada satu hari sebelumnya. Selain itu, ia mengaku beberapa administrasi yang disyaratkan tidak praktis.
“Buatku sih ribet, ya. Harus ada surat pernyataan bertugas kerja,” jelas wanita yang sudah merantau dari PPU ke Bulungan selama tiga tahun ini.
Berbeda dengan keduanya, sebagai mahasiswi di Universitas Mulawarman (Unmul), Jusmawati (22) mengaku meskipun merantau ia tetap dapat menggunakan hak pilihnya.
Pasalnya, KPU sudah bekerja sama dengan Universitas Mulawarman, tempatnya mengejar ilmu, untuk memfasilitasi mahasiswa perantau agar melakukan pencoblosan di Kota Tepian. Kecuali, mahasiswa yang berasal dari Samarinda, Bontang, Balikpapan, dan Kukar.
“Alhamdulillah, tahun ini masih bisa gunakan hak suara karena kemarin mengurus pendaftarannya,” tandas perempuan asal Berau ini.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Pemilu 2019 mencatat, jumlah total pemilih yang terdaftar dalam DPT mencapai 192,77 juta individu. Dari jumlah tersebut, sekitar 157,47 juta orang, atau sekitar 81,69% dari seluruh pemilih nasional, menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu Legislatif (Pileg) DPR 2019.
Sementara, sekitar 35,29 juta orang, atau sekitar 18,31% dari total pemilih nasional, memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka, atau disebut juga sebagai golput. Jika dibedah menurut wilayahnya, angka golput terbanyak saat itu tercatat di DKI Jakarta dan di luar negeri. Dan Kaltim menduduki peringkat ke sembilan dengan jumlah angka golput sebesar 19,86 persen. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari