ASN yang dewasa berdemokrasi sedang dibutuhkan saat ini. Pasalnya, Indonesia sedang menjalani rentetan pesta demokrasi. Mereka kompak menyebut bahwa ASN yang dewasa dalam berdemokrasi adalah ASN yang punya mental siap menang dan siap kalah. Tentu saja bukan sebagai pelaku politik, tetapi sebagai pemegang hak pilih.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Melalui Webinar KORPRI Menyapa, seluruh ASN se-Indonesia memperoleh pencerahan mengenai pentingnya menjadi ASN yang dewasa dalam berdemokrasi. Kegiatan itu dilaksanakan, Selasa (5/3/2024) lalu, dan ditayangkan melalui laman Youtube Kemendagri RI.
Webinar tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Asrorum Ni’am Sholeh selaku Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora, dan Muhadam Labolo selaku Guru Besar Ilmu Pemerintahan.
Kedua narasumber itu sepakat, bahwa topik ini penting dibahas karena ASN yang dewasa berdemokrasi sedang dibutuhkan saat ini. Pasalnya, Indonesia sedang menjalani rentetan pesta demokrasi. Mereka kompak menyebut bahwa ASN yang dewasa dalam berdemokrasi adalah ASN yang punya mental siap menang dan siap kalah. Tentu saja bukan sebagai pelaku politik, tetapi sebagai pemegang hak pilih.
Dalam pemaparannya, Asrorum Ni’am Sholeh bilang, mental seperti itu patut dijaga. Apabila pilihan politiknya menang, baik dalam pilpres maupun pileg maka Ia tetap akan menghormati orang lain yang pilihan politiknya kalah.
“Ia tidak akan mencaci, tidak akan menghina orang lain itu. Demikian pula, ASN pilihan politiknya ternyata kalah, maka Ia akan segera move on, dan secepatnya menyiapkan mental dirinya untuk kembali pada tugas sebagai birokrat tanpa diskriminasi serta pengaruh dari pilihan politiknya terdahulu. Itu baru disebut dewasa dalam berdemokrasi,” tuturnya.
Dengan mental tersebut, menurut pria yang akrab disapa Prof. Ni’am, ASN sesungguhnya sedang menjalankan politik kebangsaan. Yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan dirinya atau golongan tertentu. Dengan kedewasaan berdemokrasi itu, ASN sesungguhnya sedang menjalankan tugas utamanya men-deliver pelayanan publik yang prima kepada masyarakat dalam bingkai profesionalitas dan netralitas.
Prof. Niam juga menyebutkan bahwa keterlibatan ASN dalam politik praktis akan menyebabkan terjadinya public distruss atau ketidakpercayaan publik terhadap birokrasi akibat ASN yang “pilih kasih” dalam memberikan layanan. Apabila ASN terlibat dalam kontestasi politik sebagai petarung, tentu akan terjebak pada situasi atau kondisi yang rawan konflik kepentingan.
Baca Juga
Keputusannya akan terpengaruh oleh desakan kepentingan pribadi maupun desakan kelompoknya sendiri. Ia tidak lagi dapat berfikir objektif untuk memberikan pelayanan terbaik dan profesional bagi semua.
“ASN demikian akan kesulitan membedakan nilai-nilai baik dan buruk dalam tugasnya men-deliver layanan publik yang adil. Baginya, yang terpenting adalah kepentingan diri, golongan dan kelompoknya. Pada tahap ini, jelas sekali konflik kepentingan menjadi tak terelakkan, demikian pula etika birokrasi pun akan menjadi terabaikan,” ujarnya.
Sementara itu, Muhadam Labolo, menyerukan bahwa pada era sekarang, ASN memang hanya dapat menjalani perannya sebagai penonton dalam politik baik itu dalam kontestasi Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Ia menjelaskan, saat ini partisipasi politik warga negara dapat dibagi menjadi 4 segmen. Pertama yakni kelompok apatis, yaitu kelompok orang-orang yang buta politik atau tidak mau terlibat sama sekali dalam politik. Kedua, kelompok spectator (penonton), yakni mereka yang memiliki hak hanya sebatas memilih tanpa boleh memberikan dukungan secara terbuka kepada kelompok. Ketiga, yakni Gladiator (petarung) atau orang-orang yang terjun langsung ke dalam dunia politik. Dan kelompok keempat, diisi oleh para pengkritik sistem politik.
Menurut Muhadam, ASN telak berada dalam segmen kedua sebagai penonton, karena regulasi pula yang membatasi ruang geraknya untuk memberi dukungan atau bahkan terjun langsung sebagai gladiator. Sebagai penonton, ASN tentu dibatasi bajunya sendiri yang beratributkan netralitas.
Baca Juga
Dengan atribut netralitas itu, ASN dijamin dapat memberikan layanan publik yang adil dan tidak diskriminatif kepada semua (baik kepada kelompok apatis, gladiator maupun pengkritik). Pun, bila seorang ASN telah memutuskan untuk menanggalkan atribut netralitas tersebut dan turun ke medan laga sebagai gladiator, maka seyogyanya bajunya pun harus Ia lepas dan mulai ikut bertarung dengan mengenakan baju ala gladiator.
“Karena pada saat menjadi petarung, seseorang tentu akan bertarung untuk memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri atau kelompok gladiator-nya sendiri,” jelasnya. (adv/bkpsdmbontang)
Penulis: Pewarta
Editor: Redaksi Akurasi.id