Kenaikan PPN 12 Persen: Solusi atau Beban Baru bagi Masyarakat Kaltim?

Fajri
By
21 Views
Ilustrasi. (ist)

Kenaikan PPN menjadi 12 persen memicu pro dan kontra di Kalimantan Timur. Beragam pandangan masyarakat mengemuka, mulai dari kekhawatiran daya beli hingga dukungan untuk peningkatan pendapatan negara.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen telah menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk warga Kalimantan Timur (Kaltim).

Di satu sisi, kebijakan ini dianggap dapat meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung program-program pemerintah. Namun, di sisi lain, masyarakat khawatir dampaknya akan merembet ke sektor lain yang berpotensi menurunkan daya beli.

Kekhawatiran ini semakin nyata, mengingat beberapa harga barang sudah mulai naik meskipun kebijakan tersebut belum sepenuhnya diterapkan.

Polemik ini semakin rumit ketika pemerintah mengumumkan perubahan kebijakan, yaitu membatalkan kenaikan PPN 12 persen untuk semua barang dan hanya memberlakukannya pada barang mewah. Sayangnya, perubahan ini tampaknya kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga sebagian masyarakat masih mengira bahwa kenaikan PPN berlaku secara umum.

Dr. Agung Ilham Suharyanto, seorang dokter umum dari Tenggarong, Kutai Kartanegara, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kenaikan PPN 12 persen. Meskipun kebijakan ini belum berdampak langsung padanya karena menyasar barang mewah, ia khawatir dampaknya bisa merembet ke barang-barang non-mewah.

“Jika dampak kenaikan PPN merembet ke barang lain, itu otomatis akan memberatkan masyarakat, apalagi rata-rata pendapatan masyarakat tidak berubah. Saya menduga kenaikan ini terkait dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program makan gratis, yang menurut saya justru terkesan dipaksakan,” ujar Agung.

Ramdhani, warga Samarinda, juga menyuarakan ketidaksetujuannya. Ia khawatir kenaikan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat.

“Kenaikan PPN 12 persen memang belum berdampak langsung pada saya karena saya belum membeli barang mewah. Namun, jika bahan baku barang mewah berasal dari barang non-mewah, harga pangan juga bisa naik. Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, seharusnya pemerintah menurunkan PPN, bukan malah menaikkannya,” katanya.

Di sisi lain, Koordinator HSE di PT. Farmel Cipta Mandiri, Rizky Anto, mendukung kebijakan ini. Pria asal Balikpapan ini melihat kenaikan PPN 12 persen sebagai langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara.

“Masyarakat kita masih minim kesadaran untuk membayar pajak. PPN 12 persen ini akan meningkatkan pendapatan negara yang bisa digunakan untuk program kesejahteraan rakyat, seperti beasiswa gratis, kesehatan gratis, atau rumah subsidi. Inflasi memang tak bisa dihindari, tetapi efek positifnya harus dilihat dalam jangka panjang,” jelas Rizky.

Senada dengan Rizky, Didik Harianto, admin apotek di Klinik Bunda Ayu, Tenggarong, juga menyetujui kenaikan PPN 12 persen.

“Selama ini daya beli saya tidak terpengaruh karena PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah. Saya mendukung kebijakan ini karena targetnya adalah kalangan kaya, bukan masyarakat umum,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi, Purwadi, menilai bahwa salah satu isu yang mencuat dari polemik ini adalah kurangnya sosialisasi perubahan kebijakan oleh pemerintah. Banyak masyarakat yang masih salah memahami bahwa PPN 12 persen berlaku untuk semua barang. Kondisi ini menciptakan kebingungan dan bahkan kekhawatiran yang tidak perlu.

Menurutnya, pemerintah harus memperbaiki komunikasi dengan masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.

“Kenaikan PPN adalah isu sensitif. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat memahami kebijakan ini, terutama perubahan yang dilakukan, agar tidak muncul keresahan,” kata Purwadi. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *