Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan angka deforestasi tertinggi di Indonesia pada 2024, dengan kehilangan hutan netto mencapai 175,4 ribu hektare. Deforastasi bruto tercatat sebesar 216,2 ribu hektare, dikurangi reforestasi sebesar 40,8 ribu hektare.
Sebagian besar hilangnya hutan terjadi di hutan sekunder seluas 200,6 ribu hektare (92,8 persen), dan 69,3 persen dari deforestasi berlangsung di dalam kawasan hutan. Faktor utama penyebabnya adalah ekspansi perkebunan sawit, aktivitas pertambangan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur, termasuk proyek Ibu Kota Negara (IKN).
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen, menilai angka kehilangan hutan di Kaltim jauh lebih besar dibanding upaya reforestasi.
“Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan penanaman pohon tidak akan mampu mengejar laju deforestasi. Kalau kita nanam, tapi yang lain terus menebang, itu tidak adil. Hari Hutan harus menjadi refleksi para pengeruk hutan, bukan sekadar agenda simbolik,” ujarnya.
Fathur menegaskan, simbol penanaman pohon tidak cukup tanpa adanya tindakan korektif berupa kebijakan tegas dan pengawasan industri ekstraktif. Meski status kawasan hutan berada di bawah kewenangan pusat, pemerintah daerah tetap memiliki peran besar dalam memperbaiki lahan yang sudah terdegradasi.
Baca Juga

Sementara itu, Kementerian Kehutanan menyebut upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 2024 berhasil memulihkan 217,9 ribu hektare, terdiri dari 71,3 ribu hektare di dalam kawasan hutan dan 146,6 ribu hektare di luar kawasan hutan. Rehabilitasi ini dibiayai dari APBN dan sumber pendanaan lain, dan dalam satu dekade terakhir rata-rata RHL mencapai 230 ribu hektare per tahun.
Menurut Krisdianto, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenhut, capaian ini membantu meningkatkan tutupan hutan sekunder dan lahan pertanian campuran (agroforestry).
Meski ada sedikit kenaikan deforestasi pada 2024 dibanding tahun sebelumnya, angka ini masih lebih rendah dari rata-rata deforestasi satu dekade terakhir, sehingga Kemenhut menilai kebijakan pengendalian hutan mulai menunjukkan hasil.
Upaya pemerintah meliputi pengendalian karhutla, penerapan moratorium izin hutan primer dan gambut, pembatasan alih fungsi kawasan hutan, pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial, rehabilitasi hutan dan lahan, serta penegakan hukum kehutanan.
Semua langkah ini sejalan dengan target Indonesia FOLU Net Sink 2030, yang bertujuan menurunkan emisi dari sektor kehutanan serta mencapai keseimbangan antara emisi dan serapan karbon pada 2030.
Namun Walhi Kaltim menekankan bahwa upaya teknis semata tidak akan cukup tanpa langkah korektif yang tegas terhadap industri ekstraktif.
“Tanpa keberanian politik untuk menahan laju pembukaan lahan dan menindak pelanggaran, semua upaya reforestasi hanya menutupi kerusakan yang jauh lebih dalam,” tegas Fathur.
Data Kemenhut menunjukkan, deforestasi nasional 2024 mencapai 175,4 ribu hektare netto, dari 216,2 ribu hektare bruto dikurangi reforestasi 40,8 ribu hektare. Dari total kehilangan hutan, 92,8 persen terjadi pada hutan sekunder dan 69,3 persen di dalam kawasan hutan. Sementara rehabilitasi hutan dan lahan berhasil memulihkan 217,9 ribu hektare, namun masih kalah cepat dibanding laju deforestasi.
Aktivis lingkungan itu menekankan bahwa langkah korektif, termasuk pengetatan izin industri ekstraktif, pengawasan ketat, serta rehabilitasi lahan kritis, menjadi kunci untuk menghentikan laju deforestasi di Kaltim. Tanpa tindakan tersebut, provinsi ini berisiko terus mempertahankan predikat sebagai penyumbang deforestasi terbesar di Indonesia, dengan konsekuensi serius bagi ekosistem, kualitas air, udara, dan keberlanjutan generasi mendatang.
Baca Juga

Sementara itu, berdasarkan data Global Forest Watch, Kalimantan Timur mengalami kehilangan hutan primer basah sebesar 760 ribu hektar (kha) sepanjang 2002-2024. Angka ini menyumbang 25 persen dari total kehilangan tutupan pohon di provinsi tersebut dalam periode yang sama, sehingga total area hutan primer basah berkurang sekitar 12 persen.
Secara keseluruhan, dari 2001 hingga 2024, Kalimantan Timur kehilangan 3,1 juta hektar tutupan pohon, setara dengan 27 persen dari luas tutupan pohon pada tahun 2000. Perubahan ini juga berkontribusi pada emisi sebesar 2,1 giga ton CO₂e. Angka tersebut belum memperhitungkan peningkatan tutupan pohon yang terjadi selama periode yang sama.
Data lebih rinci menunjukkan bahwa dua wilayah teratas di provinsi ini bertanggung jawab atas 51 persen dari total kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2024. Kutai Timur menjadi daerah dengan kehilangan tertinggi, mencapai 920 ribu hektar, jauh di atas rata-rata wilayah lain sebesar 350 ribu hektar.
Namun, ada sisi positifnya. Dari 2000 hingga 2020, Kalimantan Timur berhasil menambah 280 ribu hektar tutupan pohon tingkat regional, yang setara dengan 6 persen dari total pertambahan tutupan pohon di seluruh Indonesia.
Pada 2010, dua wilayah dengan tutupan pohon terluas di provinsi ini menyumbang 52 persen dari total tutupan pohon. Kutai Barat tercatat memiliki tutupan pohon terbanyak, yakni 3,1 juta hektar, jauh di atas rata-rata wilayah lain yang mencapai 1,2 juta hektar. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Suci Surya Dewi