Jalan umum masih menjadi lintasan truk tambang. Padahal sudah ada perda yang mengatur hal itu.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Permasalahan jalan rusak di Kutai Barat nampaknya belum menemui titik terang. Padahal sudah ada peraturan daerah terkait itu, namun payung hukum itu seolah-olah hanya tulisan di atas kertas putih yang tidak memiliki arti.
Warga sampai turun ke jalan melakukan aksi protes lewat baliho dan penanaman pohon pisang, namun tampaknya aksi tersebut belum mampu memberikan dampak signifikan. Jalan rusak tersebut diduga karena terus dilewati oleh kendaraan pengangkut baru bara ilegal dan kelapa sawit yang kelebihan muatan.
Sebenarnya tidak hanya di Kutai Barat, kasus serupa pun terjadi pula di Muara Kate, Paser. Warga setempat memprotes kendaraan batu bara yang melewati jalan umum lantaran dianggap sebagai penyebab jalan rusak.
Setelah aksi protes tersebut, terdapat insiden penyerangan yang menyebabkan korban meninggal dan luka-luka. Sehingga, penyerangan tersebut diduga berkaitan dengan aksi protes warga. Meski begitu hingga saat ini penyebab pasti kejadian tersebut belum terungkap.
Menanggapi hal ini, Plt Dinas Perhubungan (Dishub) Kalimantan Timur (Kaltim) Irhamsyah mengatakan, jika sebenarnya Kaltim sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang angkutan kelapa sawit dan batu bara.
“Kalau untuk regulasi jelas sudah ada. Yang diperlukan sekarang siapa yang menegakkan pelanggaran? Itu perlu diperjelas dan diperdalam,” terangnya saat diwawancarai awak media di Samarinda, belum lama ini.
Jalan Rusak Masih jadi PR Pemerintah
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012, kendaraan yang mengangkut hasil tambang dan kelapa sawit melalui jalan umum dapat dikenai sanksi hukum. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa berujung pada pidana kurungan maksimal enam bulan atau denda hingga Rp50 juta.
Selain itu, Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim Nomor 43 Tahun 2013 mewajibkan perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit untuk membangun jalan khusus. Kewajiban ini mencakup pembangunan infrastruktur seperti underpass atau flyover di titik persilangan dengan jalan umum, guna mengurangi dampak lalu lintas dan meningkatkan keselamatan pengguna jalan.
Kendati demikian, ia mengakui jika penerapan dari perda tersebut belum maksimal. Kendaraan yang melebihi batas muatan, kata Irham, tentu tidak boleh melanggar peraturan yang ada.
Lanjutnya, kendaraan hauling harusnya mempunyai jalur sendiri. Bukannya malah menggunakan jalan umum yang tentunya akan mengganggu aktivitas masyarakat setempat.
“Ini masih menjadi PR (pekerjaan rumah, red) bagi kita,” pungkasnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari