Diambang Gulung Tikar, Pariwisata Kaltim Kibarkan Bendera Putih Hadapi Pandemi. Pembatasan sosial berlevel dan berjilid-jilid memaksa Pariwisata Kaltim kibarkan bendera. Merumahkan karyawan hingga PHK dalam skala besar jadi opsi di depan mata.
Akurasi.id, Samarinda – Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Mungkin peribahasa itu cocok menggambarkan keadaan pandemi yang menggurita saat ini. Terlebih dengan adanya pemberlakukan pembatasan sosial berlevel dan berjilid-jilid. Mengkrangkeng semua sektor tanpa ampun, tak terkecuali pariwisata.
Baru mencoba bangkit, lantaran kasus sempat landai di awal 2021. Badai Covid-19 kembali menyerang, dengan terjangan yang lebih ganas. Membuat sektor pariwisata yang sempat mendapat angin segar kembali tersungkur. Tertatih-tatih dalam mempertahankan usaha.
Bagaimana tidak. Pariwisata yang bergantung pada para wisatawan memang diharuskan lebih berlapang dada. Peraturan pemerintah yang mengharuskan adanya pembatasan baik dalam hal kunjungan ataupun berkumpul. Namun harus sampai kapan?
Hampir dua periode hidup bersanding pandemi, belum mampu membuat sektor pariwisata berjalan beriringan dengan kebiasaan-kebiasaan Covid-19. Sepak terjangnya pun hampir membuat beberapa pengusaha di sektor pariwisata memilih menyerah dan gulung tikar.
Seperti disampaikan Direktur Rumah Ulin Arya (RUA), Sheila Achmad. Ia mengatakan, tempat wisata yang ia kelola sejak 2015 itu sangat terdampak dengan Covid-19 dan pembatasan sosial. Peraturan pemerintah mengharuskan sektor pariwisata tutup selama pandemi.
Meski sempat mendapat hembusan angin segar di awal 2021, tempat wisata diizinkan buka. Namun, sejak tingginya kasus pada Juli, Sheila terpaksa harus menutup kembali tempat wisata yang terletak di Jalan Teluk Batu, Sempaja Utara, Samarinda.
“Padahal pas buka itupun pengunjung tidak seberapa, tapi setidaknya ada pemasukan untuk menutupi biaya operasional atau upah pekerja,” kata wanita berambut panjang ini.
Bahkan, dikatakannya, kini RUA sudah tidak mampu membayar BPJS karyawan karena tidak adanya pemasukan. Hal itupun menyebabkan RUA terpaksa merumahkan hampir 90 persen dari total 60 pekerja. Menyisakan sekira 10 karyawan yang bekerja secara bergantian. Mencoba bertahan dengan sedikit harapan.
“Tak ada pengunjung, artinya tak ada pemasukan. Pemasukan kami Rp0. Sedangkan setiap bulannya harus ada biaya perawatan dan pakan hewan-hewan di sini,” ucap Sheila.
Biaya Kian Membengkak, Pemasukan Nyaris Tidak Ada
Sheila Achmad menyampaikan, untuk biaya pakan hewan-hewan di RUA paling tidak meghabiskan anggaran Rp20 juta per bulannya. Belum pembayaran untuk air, listrik dan pajak. Terlebih selama pandemi pemerintah tidak memberikan relaksasi pajak yang mampu mengurangi beban pengelola.
Besar harapan pengelola tempat wisata, ada sedikit kelonggaran dari pemerintah. Seperti kelonggaran yang diterapkan kepada pengelola mal hingga kafe dan restoran, dengan ketentuan protokol kesehatan (prokes) ketat. Terlebih RUA sendiri telah memiliki sertifikat Clean, Health, Safety, and Environment (CHSE).
“Jika sektor wisata ditutup. Tolonglah beri bantuan, memang di sini bukan sektor esensial, tapi di sini ada pekerja yang menggantungkan kehidupannya. Jika tidak dapat memberikan bantuan, tolong dibuka dengan memberikan pengawasan,” keluhnya.
“Kami siap membuat pakta integritas. Batasi pengunjung 25 persen, ada Satgas Covid-19. Kalau enggak, ya mati. Harapan kami dari pengelola tempat wisata, pemerintah memikirkan lah, jangan hanya melarang namun tidak ada tindakan atau jalan keluar,” ucapnya.
Wanita 31 tahun ini juga mengungkapkan, apabila tak ada uluran tangan dari pemerintah, maka keputusan paling berat pun terpaksa diambil oleh pengelola tempat wisata, yakni planning PHK, tak terkecuali RUA.
“Sebenarnya tidak tega, mereka kan sudah kerja lama di sini. Tapi mau bagaimana, inipun bukan keinginan kami. Kalau keadaan tidak membaik, keputusan terberat terpaksa diambil,” ungkapnya. (*)
Penulis: Devi Nila Sari
Editor: Redaksi Akurasi.id