Merangkai Mimpi di Atas Kursi Roda

Fajri
By
14 Views
Foto: Ilustrasi. (ist)

Di tengah gemuruh ratusan pencari kerja, seorang lelaki duduk tegar di kursi rodanya. Matanya yang tak lagi melihat masih mampu memandang mimpi. Ini kisah Ismail Sukardi – tentang kursi roda yang tak pernah lumpuh, tentang harapan yang terus bergulir meski dunia kerap tak ramah. 

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Pagi baru saja menyibak kabut tipis di Samarinda. Matahari masih malu-malu mengintip dari balik gedung tinggi Hotel Mercure Samarinda, namun keramaian telah mengalir deras menuju satu tempat. Ball Room Hotel Mercure, jantung dari ajang pencarian harapan yang bertajuk Job Fair Samarinda 2025. Ratusan manusia dari berbagai latar belakang datang menyatu, berjejalan dalam satu ruangan, menggendong harapan yang barangkali terlalu lama tertahan di pundak.

Ada yang melangkah pasti, ada pula yang ragu-ragu. Beberapa terlihat semangat mengantre, memegang map cokelat berisi Curriculum Vitae (CV) yang dicetak dengan harapan penuh. Ada pula yang hanya diam, berdiri di tengah hiruk-pikuk itu dengan tatapan kosong, seperti bertanya dalam diam. Masih adakah tempat untukku di dunia kerja ini?

Tapi di antara ratusan wajah dan langkah, pandangan reporter media akurasi.id terhenti pada satu sosok. Seorang pria duduk di kursi roda, mengenakan jaket jeans biru dongker dengan kerah dalam berwarna putih. Kedua tangannya bertumpu di atas permukaan datar di depannya. Sesekali tangannya bergerak perlahan, meraba-raba arah, seolah mencoba membaca suasana dengan cara yang berbeda.

Perjuangan dari Kursi Roda

Foto 2: Ismail Sukardi (30), Penyandang disabilitas yang mencoba peruntukannya lewat Job Fair. (Muhammad Zulkifli/Akurasi.id)

Namanya Ismail Sukardi. Usianya 30 tahun. Pria yang datang bersama Komunitas Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Samarinda pagi itu, menyelinap pelan-pelan ke dalam arus manusia, membawa seberkas harapan yang tumbuh di tengah sunyi dan gelap matanya. Dia adalah satu dari sekian penyandang disabilitas yang datang bukan untuk sekadar hadir, melainkan benar-benar ingin mencicipi peluang yang mungkin datang hanya sekali.

“Saya datang bersama teman-teman dari komunitas PPDI. Ada empat orang bareng tadi. Kami biasa ikut pelatihan bareng juga,” ujarnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara-suara pengumuman dan langkah kaki yang menggema di ruangan besar itu.

Ismail bukan nama baru di dunia ketangguhan. Anak kedua dari dua bersaudara ini sudah tidak bisa berjalan sejak hampir sepuluh tahun lalu, ketika sebuah penyakit memaksa tubuhnya berhenti berjalan. Tapi semangatnya tidak pernah lumpuh. Ia bangkit dengan mengikuti pelatihan-pelatihan yang dirancang khusus bagi penyandang disabilitas. Komputer, daur ulang sampah, hingga keterampilan administrasi semuanya pernah ia cicipi dengan tekun.

“Dulu sempat merasa hidup ini berhenti. Tapi saya sadar, saya harus melanjutkan hidup. Kalau tidak, saya sendiri yang akan tenggelam,” ucapnya lirih sembari mengusap wajahnya.

Job Fair Samarinda 2025 menjadi kali pertama Ismail menjejak ajang seperti ini. Sebanyak 35 perusahaan dari berbagai sektor membuka lebih dari seribu lowongan pekerjaan. Pintu seakan dibuka lebar-lebar. Namun, bagi penyandang disabilitas seperti Ismail, pintu itu belum tentu dapat dilalui begitu saja.

Ia tahu betul, di balik senyum ramah panitia dan jargon inklusif untuk semua, masih ada jurang yang harus dilompati oleh kaum disabilitas. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah memberikan payung hukum, namun implementasinya di lapangan belum selalu seindah yang dibayangkan.

“Yang saya butuhkan cuma kesempatan. Saya percaya kemampuan saya cukup. Tapi kalau tidak dikasih ruang, mau bagaimana saya bisa membuktikan?,” ujarnya optimis.

Ismail tidak banyak menuntut. Ia hanya ingin mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya di bidang administrasi, atau TIK, yang tidak menuntut kerja fisik terlalu berat.

Dulu, sebelum sakit, ia pernah bekerja di bagian parkir. Tapi itu tinggal cerita lama, yang kini hanya bisa ia kenang dengan getir.

Di sela-sela keramaian, Pria Kelahiran Sidrap Sulawesi Selatan ini bercerita bahwa sejak umur satu tahun orang tuanya pindah dari tanah Sulawei ke Samarinda, tidak lain mendambakan keberuntungan di tanah etam ini. Saat ini tinggal bersama ibunya di Samarinda. Ibunya adalah satu-satunya yang merawat dan menjadi penyemangat utama dalam hidupnya. Meski tidak bisa lagi bekerja, Ismail tetap membantu sebisanya di rumah. Sekecil apa pun itu.

Dalam benaknya, dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah. Ini adalah panggung untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Ismail percaya, bila diberi ruang, penyandang disabilitas bisa bersinar seperti siapa pun.

Saat ditanya apakah ada perusahaan yang menarik perhatiannya, Ismail menyebut satu nama, meski raut ragu sempat menari di wajahnya.

“Kayaknya belum tentu diterima. Tapi… mungkin saya akan coba juga,” katanya, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri.

Hiruk pikuk manusia berlalulalang di sekitar terasa seperti latar belakang yang memudar. Ismail, dengan wajah tenang dan tubuh yang tak lagi sempurna, terlihat begitu kuat ditengah keramaian

Di sudut ballroom yang gemerlap itu, ada harapan yang tak kasat mata. Harapan yang tidak menuntut banyak, hanya meminta dunia lebih adil sedikit saja. Harapan yang datang tanpa suara, tapi kuat menggema di dalam hati siapa pun yang melihat.

“Saya hanya ingin bekerja layaknya orang – orang normal mas,” sambutnya senelah terdiam sejenak.

Job Fair Samarinda bukan hanya tentang angka-angka pengangguran atau perusahaan-perusahaan yang pasang lowongan kerja. Ia juga tentang pertemuan-pertemuan seperti ini tentang manusia-manusia yang datang dengan bekal harapan dan keberanian, bahkan dalam kondisi yang tidak ideal.

Ismail Sukardi mungkin bukan nama besar. Dia tidak membawa gelar akademik tinggi atau pengalaman profesional bertahun-tahun. Tapi ia membawa sesuatu yang lebih mahal, keteguhan hati. Sebuah keyakinan bahwa hidup harus terus dijalani, bahkan ketika tidak lagi bisa berjalan seperti biasanya.

Di luar, mungkin tidak banyak yang memperhatikannya. Tapi di dalam, Ismail sedang menulis kisahnya sendiri. Kisah tentang keberanian untuk mencoba, sekali lagi. Meski dunia tak selalu ramah.

“Saya percaya, masih ada perusahaan yang sudi menerima saya. Meski ditengah kondisi saya yang seperti ini mas,” tuturnya optimis.

Janji Transparansi Disnakertrans

Foto 1: Suasan pembukaan Job Fair Samarinda 2025 di Ball Room Hotel Mercure, Samarinda. (Muhammad Zulkifli/Akurasi.id)

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Samarinda, Sofyan Ady dengan tegas menepis isu yang mengatakan bahwa job fair tak lebih dari seremoni semata, perhelatan yang tak menjanjikan hasil dan sekadar formalitas tanpa kejelasan akhir.

“Memang benar, selama ini muncul isu bahwa job fair hanya formalitas. Itu yang kami coba perbaiki bersama para pelaku usaha dan HRD,” ujar Sofyan.

Ia menyadari bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting yang selama ini rapuh. Maka sejak awal, sebelum stan-stan perusahaan ditegakkan, sebelum CV dilemparkan ke tangan-tangan Human Resources Development (HRD), Sofyan telah lebih dulu memanggil mereka. Ia meminta komitmen: laporan yang jelas, data yang konkret, dan niat yang jujur.

“Kami tekankan kepada para HRD, setelah acara selesai, sampaikan laporan soal jumlah pelamar dan berapa yang diterima kerja. Itu yang kadang sulit dicapai,” ungkapnya.

Namun Sofyan tahu, bukan hanya perusahaan yang harus bergerak. Para pencari kerja pun ia ajak untuk bersuara. Sering kali, kata dia, mereka yang diterima kerja tak pernah kembali memberi kabar, seakan perjuangan telah usai setelah tangan berjabat dan kontrak ditandatangani.

“Sering kali yang dapat kerja tidak lapor, merasa urusan selesai. Padahal bagi kami, data itu vital untuk mengukur efektivitas job fair,” katanya.

Baginya, job fair bukan sekadar tentang antrean panjang dan lamaran yang dikumpulkan. Ini tentang perubahan nasib. Tentang memberi jalan bagi mereka yang telah lama menunggu kesempatan. Tentang menyusun peta baru bagi masa depan Samarinda.

Angka mungkin tampak dingin, tapi di baliknya ada cerita. Cerita tentang seseorang yang tak lagi menganggur, tentang keluarga yang kembali punya harapan. Data Badan Pusat Statistik mencatat, angka pengangguran di Samarinda kini menurun, dari 6,2 persen menjadi 5,9 persen. Ini bukan sekadar statistik melainkan refleksi nyata dari kerja yang senyap tapi berdampak.

“Kami di Disnakertrans siap memastikan bahwa job fair tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar membawa perubahan nyata bagi para pencari kerja di kota ini,” jelasnya. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *