Melihat Cara Warga Desa Muara Siran Memanen “Emas” Walet dengan Menjaga Lahan Gambut (2-habis)

kaltim_akurasi
33 Views
Keberadaan sarang burung walet telah menjadi pagar alami dalam menjaga kebakaran hutan dan lahan gambut di Muara Siran. (Istimewa)

Gedung bertingkat sarang burung walet, telah menjadi pagar alami yang membangun kesadaran warga Desa Muara Siran menjaga hutan dan lahan gambut. Kesadaran itu kian meluas lantaran sarang walet sudah jadi nadir kehidupan warga Desa Muara Siran.

Kaltim.akurasi.id, Kutai Kartanegara – Bagi masyarakat Muara Siran, emas berharga yang mereka miliki adalah walet. Hidup dipagari hutan dan lahan gambut, telah melahirkan berkah tersendiri bagi mereka. Di atas dataran hutan dan lahan gambut yang terbentang ribuan hektare. Terdapat burung-burung walet yang berkembang biak dengan sempurna.

Sekretaris Desa Muara Siran, Mitawi menjelaskan, luas hutan di areal penggunaan lain (APL) di daerah mereka mencapai 9.000 sampai 10.000 hektare. Luas ini membetang dan meliputi Danau Muara Siran. Kawasan ini adalah bagian dari program penting FCPF. Ini sekaligus menjadi zona penting dalam program penyelamatan gambut di Muara Siran.

Meski begitu, menurutnya, Muara Siran pada dasarnya mempunyai areal hutan dan lahan gambut yang mencapai 42 ribu hektare. Mengingat Desa Muara Siran sendiri berada di daerah rawa dan berair. Dengan desa yang berada di antara Sungai Belayan dan Muara Ancalong.

Godaan Membakar Rerumputan Demi Berburu Ikan Danau Muara Siran

Separuh hidup warga Desa Muara Siran berporos pada Danau Muara Siran. Hal ini tidak lepas dari ekonomi mereka yang berpusat pada sarang walet dan pekerjaan dasar mereka sebagai nelayan. Bila dikebanyakan daerah lain, banjir adalah musibah. Maka bagi warga Muara Siran, banjir artinya akan ada berkah.

Hal ini lantaran, produksi ikan di Danau Muara Siran sangat bergantung pada kondisi air. Bila pada kondisi normal dan terjadi banjir, maka dalam satu minggu, tangkapan ikan warga bisa mencapai 20 hingga 30 ton.

“Bagi masyarakat di sini, jika terjadi banjir, bagi kami di sini, itu sebenarnya bukan musibah. Tetapi justru berkah. Karena ikan menjadi berlimpah di danau,” cakapnya.

Hal sebaliknya, bila musim kemarau, maka produksi ikan dapat dipastikan akan menurun drastis. Pasalnya, Danau Muara Siran hanya memiliki kedalaman sekitar 5 sampai 6 meter saja. Artinya, apabila musim kemarau, air danau akan surut dan menyusut dengan cepat. Bila itu terjadi, maka rerumputan di sepanjang bibir danau akan mengering.

“Ini yang paling dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kebakaran,” sebutnya.

Kendati demikian, warga Muara Siran banyak menyampaikan rasa syukurnya dalam 3 tahun terakhir tidak ada kebakaran. Hal itu tidak lepas dari kondisi hutan dan lahan yang basah. Ditambah hujan turun dengan cukup intensif sepanjang tahun.

Selain faktor alam. Persoalan terbesar yang acap mengganggu kehidupan di desa itu. Karena di tahun-tahun yang sudah lalu, masyarakat Muara Siran yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, mencari ikan di danau dengan cara membakar. Utamanya areal rerumputan yang menjadi sarang ikan. Mulai dari ikan lele, baung, haruan atau gabus, dan toman. Dengan lele sebagai yang terbanyak.

“Di Muara Siran, sebelumnya, rata-rata masyarakat adalah nelayan. Ketika permukaan air menyusut, maka nelayan menyasar ikan ke kantong-kantong yang ada di atas rerumputan. Untuk mendapatkan ikan, membakar rerumputan salah satunya. Karena ada banyak ikan yang terkurung di situ,” jelasnya.

Terpisah, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Muara Siran, Fadli mengatakan, pada 2015 lalu Danau Muara Siran pernah pada titik kekeringan parah. Kondisi ini tidak lepas dari musim kemarau panjang yang terjadi kala itu.

“Danau ini hanya memiliki kedalaman antara 2 sampai 3 meter saja. Kalau lagi banjir, ketinggiannya antara 4 sampai 5 meter. Makanya, kalau lagi danau kering, warga mencari ikan dengan cara membakar rerumputan. Makanya sangat berbahaya,” katanya.

Tatkala Setiap Rumah di Muara Siran Punya Sarang Walet

Melihat Cara Warga Desa Muara Siran Memanen “Emas” Walet dengan Menjaga Lahan Gambut (2-habis)
Ketua Pokdarwis Desa Muara Siran, Fadli, saat diwawancarai awak media. (Dok. Akurasi.id)

Hidup berdampingan dengan burung walet, sudah begitu lumrah dan karib bagi masyarakat Desa Muara Siran. Sebab, hampir setiap hamparan perkampungan, berdiri kokoh bangunan sarang walet. Darinya mereka tumbuh dan berkehidupan. Hingga beranak pinak.

Semula, mendirikan bangunan sarang walet di Muara Siran, hanya milik satu dua orang. Namun seiring waktu. Keberpemilikan akan gedung-gedung walet, telah hampir jadi keharusan di Muara Siran. Lingkungan yang mendukung dan menjanjikan jadi pertimbangan. Selain mengalihkan profesi sebagai nelayan. Terutama sejak 2015 lalu.

Mitawi berujar, kalau sarang burung walet telah menjadi nadir kehidupan masyarakat Muara Siran. Tatkala hadir program pemberdayaan dan pembinaan pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut dari FCPF. Masyarakat Muara Siran menyambut hangat. Sebab program itu dinilai sejalan dengan lingkungan dan aktivitas ekonomi masyarakat.

“Sarang walet, selain menjadi bagian dari sumber ekonomi masyarakat. Juga jadi bagian dari upaya menjaga dan melestarikan lingkungan,” katanya.

Tumbuh suburnya sarang walet juga membawa perubahan yang besar bagi kehidupan masyarakat setempat. Kebiasaan masyarakat atau nelayan membakar lahan, lambat laun memudar. Karena profesi nelayan tidak lagi jadi tumpuan utama.

“Kalau sebelumnya bekerja sebagai pembakar hutan, ketika ekonomi terpenuhi dengan sarang walet, maka kebiasaan membakar hutan akan mereka tinggalkan. Pembakar dan penebang kayu di sini sudah sangat sedikit sekali,” cakapnya.

Mitawir menyebut, Desa Muara Siran memiliki setidaknya 1.500 jiwa dengan 450 kepala keluarga. Sampai pertengahan 2023, setidaknya sudah ada 500 bangunan sarang walet yang berdiri di desa tersebut. Bangunan itu membentang dari area perkampungan hingga di bibir Danau Muara Siran. Artinya, setiap satu kepala keluarga di Muara Siran, memiliki setidak-tidaknya satu bangunan sarang walet.

“Untuk sarang burung walet, jumlahnya hampir menyentuh 500 bangunan,” ungkapnya.

Dari aspek ekonomi, ia mengatakan, kehidupan masyarakat di Muara Siran perlahan bertumbuh dengan sangat baik. Karena hampir semua warga memiliki sarang walet. Dari situ, setidak-tidaknya, setiap kepala keluarga sudah memiliki pendapatan antara Rp5-7 juta per bulannya.

Meski untuk takaran besar dan kecilnya penghasilan dari sarang walet sangat bergantung lama atau tidaknya bangunan telah berdiri. Begitu juga dari sisi besar dan kecilnya bangunan. Kendati demikian, ekonomi masyarakat Muara Siran sudah tergolong sangat stabil dengan memiliki sarang walet.

“Penghasilan dari sarang walet sangat bervariasi. Untuk saat ini, perkilonya antara Rp8 sampai Rp9 juta. Dari situ bisa terlihat mampu merubah ekonomi masyarakat. Makanya, kalau keliling desa akan terheran-heran, kendaraan banyak, sementara jalan bagus tidak ada,” ucapnya sembari melempar candaan.

Hal senada pun ikut diaminkan Ketua Pokdarwis Muara Siran, Fadli. Ia menuturkan, jika besar dan kecilnya pendapatan dari sarang walet. Sangat bergantung dari lama dan tidaknya sarang dibangun. Misalnya saja, untuk bangunan sarang walet dengan usia 1 sampai 2 tahun. Rata-rata bisa memanem sarang walet 2 sampai 3 ons. Sementara sarang yang telah berusia di atas 5 sampai 10 tahun. Maka sebulan bisa memanem 2 sampai 4 kilo.

“Saat ini, harganya kalau untuk 1 kilo, antara Rp8 sampai Rp11 juta. Kalau sarang yang bagus, biasanya bisa sampai Rp11 juta perkilonya. Ya, kalau mungkin dikalkulasikan, dalam sebulan bisa mencapai Rp20 sampai Rp40 juta,” jelasnya.

Sementara dari sisi biaya pembangunan sarang walet, pun ia akui juga bervariasi. Namun secara umum, untuk bangunan sarang walet 4 lantai, biayanya ditaksir antara Rp100 sampai Rp150 juta. Sementara bangunan sarang walet yang paling besar, yakni antara 8 sampai 10 lantai. Biayanya sekitar Rp250 sampai Rp350 juta.

“Ya, kurang lebih seperti itu biayanya. Karena tergantung lokasinya juga. Makanya, di sini, untuk setiap satu kepala keluarga mempunyai satu sarang walet,” tandasnya. (*)

Penulis: Fajri Sunaryo

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *