Dewan minta oknum sekolah yang mucil jual buku paket langsung ditindak tegas. Agar polemik ini tidak lagi terjadi tahun depan.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Polemik jual beli buku di lingkungan sekolah saat ini menuai respon dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin.
Kendati kasus ini banyak terdapat pada tingkat satuan pendidikan SD dan SMP, yang menjadi wewenang pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Ia tetap meminta para kepala daerah dapat mengambil sanksi tegas.
“Pemda harus melakukan pengawasan sekaligus evaluasi temuan yang ada. Kalau perlu ditindak kepala sekolahnya. Supaya ini tidak terjadi lagi di kemudian hari,” ungkapnya saat ditemui di Gedung B, Kompleks DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Karang Paci, Samarinda, Selasa (6/8/2024) lalu.
Sebenarnya pemerintah memang sudah mengeluarkan surat edaran terkait pelarangan jual beli buku tersebut. Namun, menurutnya, masih ada kemungkinan terdapat oknum-oknum nakal yang melanggar surat ini. Baik dari sisi kepala sekolah maupun guru.
Alih-alih untuk kepentingan belajar dan mengajar bagi para pelaku pendidikan. Hal ini justru kerap dijadikan ladang bisnis oleh pihak tertentu.
“Para kepala dinas harus memeriksa setiap sekolah. Hal ini harus ditindak karena merugikan siswa dan orang tua. Yang berakibat sistem belajar malah menjadi tidak kondusif,” sambung Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) ini.
Dewan Desak Eksekutif Buat Alternatif
Sehingga ia pun mendesak agar lembaga eksekutif mencari jalan alternatif. Misalnya pemerintah memperbanyak salinan buku yang didukung menggunakan dana APBD. Kemudian, buku-buku ini bisa dibagikan secara gratis kepada semua murid, tanpa pandang bulu.
Tak hanya itu, ia juga meminta agar pemerintah dapat memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. Di jaman yang semakin canggih ini, digitalisasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan siswa dalam belajar. Tentunya hal ini bisa meringankan beban orang tua.
“Saya lihat keluhan ini terjadi setiap tahun. Kalau orang tua hanya punya satu anak, mungkin tidak akan protes. Tapi kalau punya tiga anak, pembelian buku ini pasti membebankan orang tua,” imbuhnya.
Meski begitu, ia meminta agar pemerintah memeriksa fakta di lapangan. Apakah hal ini isu belaka atau memang sebuah fakta yang terjadi di lapangan. Atau dalam kemungkinan lain, kasus ini hanya terjadi pada segelintir sekolah saja.
Hal ini juga berlaku bagi dinas pendidikan dan kebudayaan (disdikbud) yang ada di seluruh wilayah Kaltim. Agar dapat berkoordinasi dengan sekolah-sekolah yang berada di wilayah wewenangnya.
“Kita berharap mudah-mudahan ini menjadi tahun terakhir kasus ini terjadi. Semoga ke depan tidak ada lagi kasus pembelian buku yang memberatkan orang tua,” tukasnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sarii