Pilkada Kaltim di Ujung Tanduk: Potensi Diskualifikasi dan Ancaman Kartel Politik

Fajri
By
19 Views
Foto: Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Saipul Bahtiar. (Istimewa)

Sengketa Pilkada Kaltim memasuki sidang MK dengan potensi diskualifikasi paslon akibat pelanggaran TSM. Pengamat soroti ancaman demokrasi dan praktik kartel politik.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Proses sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kaltim 2024 terus bergulir. Mahkamah Konstitusi (MK) telah merilis Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), menandakan gugatan telah diterima dan siap memasuki tahap persidangan.

Dua pasangan calon (paslon), Isran Noor-Hadi Mulyadi dan Rudy Mas’ud-Seno Aji, mengklaim telah mempersiapkan bukti kuat untuk memperkuat argumen masing-masing di persidangan. Kedua belah pihak optimistis memiliki peluang besar untuk menang karena yakin bukti yang diajukan merepresentasikan fakta di lapangan.

Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul), Saipul Bahtiar, menilai tahapan ini menjadi bagian penting dari proses Pilkada 2024. Ia menegaskan, apapun putusan MK nantinya, harus ditindaklanjuti oleh penyelenggara Pilkada, yakni KPU dan Bawaslu.

“MK memiliki kewenangan menentukan validitas proses Pilkada, termasuk memutuskan apakah terjadi pelanggaran serius yang dapat memengaruhi hasil pemilu,” ungkap Saipul.

Tahapan persidangan akan menentukan apakah permohonan gugatan diterima untuk dilanjutkan ke sidang berikutnya. Jika memenuhi syarat, MK akan mengevaluasi bukti-bukti yang diajukan pemohon. Saipul menyebut, diskualifikasi pasangan calon bisa terjadi jika terbukti ada pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Sebaliknya, gugatan akan ditolak jika bukti tersebut tidak cukup kuat.

“Terkait monopoli politik, atau istilah yang sering disebut ‘kartel politik’, meski tidak ada larangan eksplisit dalam undang-undang, MK telah mengimbau agar proses Pilkada berjalan demokratis. Demokrasi harus memberikan lebih dari satu pilihan pasangan calon,” ujar Saipul, merujuk pada konteks Pilkada Kaltim.

Ia juga menyoroti Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang mengatur ambang batas pengajuan sengketa Pilkada ke MK. Berdasarkan pasal tersebut, untuk wilayah seperti Kaltim yang memiliki jumlah penduduk antara 2 juta hingga 6 juta jiwa, selisih suara maksimal adalah 1,5 persen.

Namun, Saipul menjelaskan bahwa MK dapat mengabaikan ketentuan ini jika dalil gugatan dan bukti yang diajukan pemohon dianggap sangat kuat.

“Jika pemohon berhasil meyakinkan MK bahwa terdapat pelanggaran signifikan yang memengaruhi hasil Pilkada, ambang batas tersebut bisa saja tidak menjadi penghalang,” ujarnya. (*)

Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *