Wawali Bontang Agus Haris usulkan revisi kebijakan tata ruang. Untuk melegalkan aktivitas galian C secara terbatas dan terawasi.
Kaltim.akurasi.id, Bontang – Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang akan mengambil sikap lebih objektif, dalam merespons polemik penutupan tambang galian C ilegal. Lantaran menyebabkan banyak dampak sosial, dari kelangkaan dan mahalnya material bangunan di pasaran. Serta menghilangkan pendapatan beberapa jasa pengangkutan material.
Diketahui tambang galian C ilegal di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Kanaan, telah ditutup sejak Kamis, 10 April 2025 lalu, oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Kehutanan Kaltim.
Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris menilai, sudah saatnya aktivitas galian C dikaji secara komprehensif agar dapat dilegalkan secara terbatas dan terawasi. Legalitas ini bisa menjadi solusi atas kebutuhan material pembangunan yang semakin sulit dipenuhi secara lokal.
“Permasalahan galian C bukan hanya persoalan satu kota. Hampir semua daerah mengalami hal serupa. Selama ini pengambilan pasir, batu, dan tanah urug lebih banyak dilakukan secara ilegal,” ungkapnya Agus Haris, Jumat (02/05/2025).
Maka itu perlu dibahas agar tambang galian C, menjadi bagian dari revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) di tingkat provinsi. Menurutnya, dengan tata kelola yang baik, keberadaan tambang tidak akan mengabaikan aspek lingkungan.
Agus Haris Sadar Legalitas Galian C Bakal Menuai Pro dan Kontra
Ia menyoroti dampak dari tidak adanya lokasi legal terdekat, yang membuat pelaksanaan proyek infrastruktur terganggu. Akibat antrean panjang dan biaya logistik yang membengkak.
“Kalau hanya mengandalkan satu titik legal dan jaraknya jauh, tentu tidak efisien. Proyek jadi terlambat karena antrean, sementara pekerjaan punya tenggat waktu,” tegasnya.
“Kami ingin ada eksplorasi yang tetap bertanggung jawab. Jangan sampai hanya ambil untung tapi menyisakan kerusakan,” tambahnya.
Agus Haris juga mengakui kebijakan ini bisa memicu pro dan kontra. Namun, ia menegaskan, pemerintah harus berani mengambil sikap, agar tidak menciptakan masalah baru di kemudian hari.
“Pemerintah hadir untuk mencari jalan tengah. Tidak bisa menutup mata, tapi juga tidak membiarkan aktivitas merusak lingkungan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Dwi Kurniawan Nugroho
Editor: Devi Nila Sari