Menggantang Asap Pendidikan Berkualitas di Tengah Kekurangan Guru

Suci Surya
20 Views
Ilustrasi guru mengajar di kelas. (ist)

Ditulis oleh: Asna Abdullah


PENDIDIKAN yang berkualitas adalah fondasi utama perkembangan individu dan masyarakat, membentuk karakter, moral, dan pemikiran kritis. Guru yang berkualitas memegang peran strategis dalam mendidik generasi menciptakan lingkungan belajar yang inspiratif dan kondusif, membuka peluang, dan mengurangi kesenjangan sosial.

Tanpa akses ke pendidikan dan guru yang berkualitas, generasi masa depan berisiko tidak siap menghadapi tantangan, apalagi Indonesia sebagai negara berjumlah penduduk besar yang akan menyongsong bonus demografi. Namun, kenyataannya, Indonesia menghadapi masalah serius dalam hal kekurangan guru.

Di Bontang misalnya, SMPN 09 Bontang hanya memiliki 19 guru untuk menangani 342 siswa, membuat banyak guru harus mengajar hingga 36 jam per minggu sehingga kelelahan. Kondisi ini menuntut pengorbanan besar dari para guru, para guru harus mengajar hingga 36 jam per minggu. (SMPN 9 Bontang Hadapi Tantangan Kekurangan Guru, Tetap Optimis Tingkatkan Mutu Pendidikan).

Di SMPN 02 Bontang, enam guru akan pensiun tahun ini dan satu guru akan dimutasi ke daerah lain, sehingga guru yang biasanya mengajar 24 jam kini mengajar hingga 30 bahkan 36 jam per minggu. Kekurangan ini menghambat proses belajar-mengajar dan memperburuk kualitas pendidikan. (Kekurangan Tenaga Pengajar, SMPN 2 Bontang Tambah Jam Guru)

Di Balik Krisis Guru

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sektor pendidikan, salah satunya adalah kekurangan guru yang berkualitas dan memadai. Di banyak daerah, terutama di wilayah terpencil dan pedesaan, jumlah guru yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah siswa yang harus diajar.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nunuk Suryani, menyatakan bahwa Indonesia akan  kekurangan sekitar 1,3 juta guru pada tahun 2024 karena banyaknya guru yang pensiun. Dalam keterangannya di Jakarta, pada hari Jumat, ia mengungkapkan bahwa selama periode 2022-2023, Indonesia memiliki 3,3 juta guru di sekolah negeri, namun banyak dari mereka akan pensiun. Rata-rata, sekitar 70.000 guru pensiun setiap tahun.

Kekurangan guru merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Rendahnya insentif dan kesejahteraan guru membuat profesi guru kurang menarik bagi calon tenaga pengajar baru, dan lebih memilih karier lain yang menawarkan kompensasi lebih baik. Banyak guru, khususnya mereka yang bekerja di daerah terpencil atau berstatus honorer, menghadapi tantangan ekonomi yang tidak sesuai dengan kontribusi mereka.

Begitu juga dengan peningkatan jumlah peserta didik setiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan penduduk dan tingginya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Namun, di sisi lain, banyak guru senior yang mulai memasuki masa pensiun, sehingga mengurangi jumlah tenaga pengajar yang tersedia, kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan gurupun tak terelakkan.

Belum lagi adanya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, ini kemudian menjadi tantangan baru dalam pelaksanaannya, khususnya di daerah daerah tertentu. Banyak Pemda yang menghadapi kendala anggaran dalam pembayaran gaji guru honorer. Kerap kali anggaran pendidikan di daerah tidak memadai atau dialokasikan untuk kebutuhan lain yang dianggap lebih prioritas., itulah mengapa di beberapa daerah tidak mampu memenuhi kuota pengangkatan guru.

Mengajar Sampai Lelah

Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin tercapai dengan kurangnya guru yang menjadi hambatan utamanya. Bayangkan sebuah negara yang ingin menjadi kekuatan ekonomi global, tetapi tidak memiliki cukup insinyur dan ilmuwan untuk membangun infrastruktur dan teknologi yang diperlukan, akan bagaimana?

Lagi pula, dengan guru yang tidak memadai, siswa tidak akan mendapatkan perhatian dan bimbingan yang mereka butuhkan untuk berkembang secara optimal, parahnya lagi, kekurangan guru mengakibatkan para guru harus mengajar dengan jam kerja yang sangat panjang. Banyak guru di sekolah-sekolah negeri terpaksa mengajar hingga 36 jam per minggu atau lebih, jauh melebihi batas wajar, sehingga mereka merasa kewalahan dan kelelahan.

Beban kerja yang berlebihan ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan para guru, tetapi juga mengurangi efektivitas mereka dalam mengajar. Guru yang kelelahan tidak bisa memberikan perhatian penuh kepada setiap siswa, padahal guru dituntut memiliki kompetensi pedagogis yang tinggi.

Belum lagi mereka harus menelan pahitnya kenyataan bahwa gaji mereka masih belum mencukupi tingkat kebutuhan mereka. Slogan-slogan gemilang tentang peran guru di dunia pendidikan sering kali hanya bergema saat upacara seremonial, namun sayangnya slogan hanya tinggal slogan dan mereka masih tetap tidak sejahtera dan lelah tentunya.

Kapitalisme Mengabaikan Pendidikan

Di sisi lain, upaya untuk merekrut lebih banyak guru memang dapat menjadi solusi nyata untuk mengatasi kekurangan ini. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa tidak dilakukan lebih agresif, terutama mengingat masih banyaknya pengangguran yang bisa mengisi kekurangan tersebut.

Namun keterbatasan anggaran dan birokrasi yang rumit sering kali menjadi alasan utama, seolah pendidikan tidak menjadi prioritas utama dan menganggap gaji guru membebani APBD. Kalaulah benar pendidikan ini dianggap layaknya kebutuhan, mengapa justru aspek vitalnya, yaitu ketersediaan guru tidak menjadi prioritas. Ironisnya, meskipun retorika tentang pentingnya pendidikan sering digaungkan, tindakan nyata untuk memastikan cukupnya jumlah guru tampaknya seperti tong kosong nyaring bunyinya.

Sejatinya beginilah karakter kapitalisme, system yang lebih memprioritaskan keuntungan finansial di atas kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan. Pada penerapan system kapitalisme, sektor yang dapat menghasilkan keuntungan besar cenderung mendapatkan perhatian dan pembiayaan lebih banyak. Akibatnya, sektor pendidikan yang tidak menghasilkan keuntungan finansial secara langsung kerap terabaikan.

Begitu juga halnya dengan SDAE. Indonesia diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari tambang emas, batu bara, minyak dan gas, hingga hutan tropis yang luas. Namun, potensi besar ini tidak dimanfaatkan secara optimal untuk kemakmuran rakyat, terutama dalam sektor pendidikan. Banyak sumber daya alam yang dikuasai oleh korporasi. Mereka mendapatkan keuntungan besar dari hasil alam Indonesia, sementara rakyat Indonesia, hanya dapat dampaknya saja.

Ironi memang, ketika negara kaya sumber daya alam justru mengalami kekurangan guru berkualitas dan fasilitas pendidikan yang memadai. Seharusnya, hasil dari sumber daya alam bisa mencukupi seluruh kebutuhan anggaran pendidikan, tanpa harus bergantung pada pajak dan utang luar negeri yang semakin menambah beban rakyat.

Lalu agaimana mungkin Indonesia bisa mencapai pendidikan berkualitas jika tetap menerapkan sistem kapitalisme yang mengabaikan kesejahteraan pendidikan? Usaha ini ibarat menggantang asap, sia-sia belaka!!

Sistem Islam Menciptakan Pendidikan Berkualitas

Pada masa pemerintahan islam, pendidikan menjadi perhatian utama penguasa, ini karena menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik laki laki maupun perempuan. Para pemangku jabatan juga akan menjalankan amanahnya dengan penuh rasa tanggung jawab dan ketundukan terhadap hukum syara. Ilmu memungkinkan seseorang memahami manusia, alam, dan kehidupan, sehingga lebih dekat kepada Sang Pencipta, untuk itu orang berpengetahuan diberi posisi tinggi oleh Allah SWT.

Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Negara berkewajiban untuk mengurus dan menjamin pendidikan bagi seluruh masyarakat,  pengurusan itu nampak pada pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, termasuk keberadaan guru-guru berkualitas. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته. الإمام راع ومسئول عن رعيته

(رواه البخاري ومسلم)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Imam (penguasa) yang memimpin manusia adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatian terhadap pendidikan juga tampak dari perbuatan Rasulullah SAW saat di Madinah. Rasulullah saw. sebagai kepala negara menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Selain shalat lima waktu, masjid juga menjadi tempat diadakan halaqah-halaqah ilmu, disampaikan khutbah setiap Jumat, dan di dalamnya dibacakan al-Quran.  Menurut an-Naqbi, pada masa Nabi saw. di Madinah terdapat lebih dari empat puluh masjid di Madinah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah jarak penduduk Madinah dengan masjid Rasulullah saw.

Nabi saw. juga menyediakan fasilitas di sisi utara Masjid Nabawi, yaitu Shuffah, yang dihuni oleh fakir miskin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan para pendatang dari orang-orang asing. Di antara kegiatan penghuni Suffah adalah belajar membaca dan menulis. Selain masjid, berdiri pula pusat-pusat pengajaran lainnya di Madinah, seperti kuttaabKuttaab adalah ruangan kecil untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis dan menghapalkan al-Quran.

Salah satu guru yang sangat berpengaruh pada masa Khulafa Rasyidin adalah Mu’adz bin Jabal. Beliau dikenal sebagai salah satu sahabat yang sangat cerdas dan berpengetahuan luas. Mu’adz bin Jabal dikenal sebagai salah satu pengajar pertama di Makkah yang mengajarkan Al-Quran dan fiqh (hukum Islam). Beliau juga sangat berperan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan Islam ke daerah-daerah baru yang dikuasai oleh Islam.

Perhatian Khalifah pada masa Khilafah Abbasiyah terhadap pendidikan termasuk dari aspek pembiayaan juga sangat besar. Diriwayatkan oleh Ibnu Khalikah, bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Kufah, ia memerintahkan untuk memberikan dua ribu dirham kepada setiap qari’ yang masyhur. Meskipun demikian, karena kezuhudan terhadap dunia, tidak semua menerimanya. Salah satunya adalah Dawud ath-Tha’i. Dia dengan rendah hati menolak menerima uang itu.

Di masa ini  lahir juga madrasah-madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Naisabur dan Thus yang didirikan oleh Wazir Seljuk, Nizham Al-Mulk (w. 485H/1092M). Sistem tunjangan keuangan dan pelayanan khusus untuk guru dan murid diberikan secara sama.  Disebutkan bahwa Nizham al-Mulk menginfakkan 600.000 dinar untuk pendidikan. Nilai wakaf Nizhamiyah Baghdad saja diperkirakan 60.000 dinar, dengan penghasilan tahunan 15.000 dinar.

Semua ini menunjukkan bahwa guru dalam islam tidak hanya berkualitas sebagaimana muadz bin Jabal yang kecerdasannya tidak diragukan lagi, tetapi mereka juga disejahterakan sehingga optimal mengajar dan membentuk generasi yang berkpribadian islam.

Dengan demikian hanya dengan Islamlah pendidikan yang berkualitas bisa terwujud. Semua itu adalah buah ketika ideologi Islam menjadi dasar politik pendidikan negara. WalLaahu a’lam bi ash-shawab. (*)

Asna Abdullah
Penulis opini, Asna Abdullah. (ist)

Asna Abdullah merupakan aktivis dakwah yang lahir di Sulawesi Barat pada 31 Desember 1979 silam. 

TAGGED:
Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *