Tragedi Mei 1998 Kembali Disorot, KAPAL Perempuan Tuntut Pengakuan Resmi Negara

Fajri
By
69 Views
Foto: Ilustrasi

Institut KAPAL Perempuan mendesak negara segera mengakui secara resmi tragedi pemerkosaan massal Mei 1998, menegaskan pentingnya keadilan bagi korban dan penulisan sejarah yang jujur untuk mencegah kekerasan serupa terulang.

Kaltim.akurasi.id, Jakarta — Institut KAPAL Perempuan menegaskan bahwa permintaan maaf Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, terkait pernyataannya yang menyebut pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai “rumor”, tidak cukup. Lembaga tersebut mendesak Presiden untuk mengambil tindakan tegas dan menyatakan pengakuan resmi negara terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.

“Pernyataan Fadli Zon berpotensi mengikis kepercayaan publik kepada negara dan memperdalam luka kolektif para korban yang telah berjuang selama lebih dari dua dekade,” ujar Direktur Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami, Senin (7/7/2025).

Budhis menambahkan, meskipun Fadli telah menyampaikan permintaan maaf dalam rapat bersama Komisi X DPR RI, hal itu tidak menghapus dampak dari pernyataannya yang dianggap menegasikan fakta sejarah.

Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada 1998, terdapat laporan kekerasan seksual terhadap sedikitnya 152 perempuan, sebagian besar dari etnis Tionghoa. Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga mengonfirmasi kejadian tersebut melalui kesaksian para korban dan saksi mata, terutama di Jakarta dan sekitarnya pada 13–15 Mei 1998.

Presiden B.J. Habibie sendiri, dalam pidatonya di DPR pada 14 Agustus 1998, telah mengakui terjadinya kejahatan seksual tersebut dan menyebutnya sebagai tindakan yang “sangat memalukan dan mencoreng muka bangsa.” Namun hingga kini, laporan-laporan tersebut belum pernah diakui secara resmi oleh DPR RI.

Budhis menyampaikan bahwa KAPAL Perempuan mendesak pemerintahan saat ini di bawah Presiden Prabowo untuk segera membuka kembali dokumen dan laporan resmi terkait peristiwa pemerkosaan massal tersebut. Jika negara terus mengabaikan kasus ini, maka hal tersebut merupakan bentuk kejahatan negara melalui pembiaran.

Lebih jauh, KAPAL Perempuan menyatakan kekhawatiran bahwa proyek penulisan ulang sejarah resmi oleh Kementerian Kebudayaan justru dapat menghapus peristiwa ini dari memori kolektif bangsa.

“Menghapus fakta kekerasan terhadap perempuan dalam sejarah resmi adalah bentuk kekerasan kedua: penghilangan kebenaran,” tegas Budhis.

Menurutnya, keberanian negara dalam menulis sejarah yang jujur dan adil menjadi syarat utama untuk terwujudnya pemulihan, keadilan, dan pencegahan berulangnya kekerasan.

“KAPAL Perempuan juga menuntut negara untuk menghapus praktik seksisme dan rasisme melalui kebijakan yang menjamin hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, serta mewujudkan nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi berbangsa,” jelasnya. (*)

Penulis: Nelly Agustina
Editor: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *