Program GratisPol yang diklaim sebagai pendidikan gratis di Kaltim justru menuai kritik. Pembatasan usia dan plafon biaya kuliah dinilai membatasi akses pendidikan, terutama bagi mahasiswa dewasa dan berpengalaman.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Program pendidikan GratisPol yang diinisiasi Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud dan Seno Aji, menuai kritik. Meskipun diklaim sebagai program pendidikan gratis, sejumlah kalangan menilai kebijakan ini justru membatasi akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan kuliah di usia dewasa atau telah memiliki pengalaman kerja.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah adanya pembatasan usia maksimal bagi penerima bantuan. Untuk jenjang D3, usia maksimal ditetapkan 23 tahun, S1 maksimal 25 tahun, S2 maksimal 35 tahun, dan S3 maksimal 40 tahun.
Tak hanya itu, program ini juga membatasi besaran bantuan biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah. Untuk jenjang S1, bantuan UKT atau SPP maksimal hanya Rp5 juta per mahasiswa per semester. Khusus program studi kedokteran dan kesehatan, batas maksimalnya sedikit lebih tinggi, yakni Rp7,5 juta. Bila biaya kuliah melebihi jumlah tersebut, mahasiswa harus menanggung selisihnya secara mandiri.
Adapun untuk jenjang S2, bantuan maksimal yang diberikan adalah Rp10 juta per semester, S3 sebesar Rp15 juta, dan program Spesialis-1 sebesar Rp17,5 juta. Ketentuan ini dinilai tidak sejalan dengan semangat “gratis” yang digaungkan dalam nama program.
Novaritha, seorang mahasiswa S2 semester dua Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Tropis Universitas Mulawarman, menyampaikan kekecewaannya atas pembatasan usia tersebut. Ia menilai pendidikan seharusnya terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang usia.
“Menurut saya, tidak seharusnya ada batasan usia dalam menempuh pendidikan, apalagi di jenjang S2. Kebijakan ini bisa merugikan banyak pihak,” ujarnya.
Menurutnya, semangat menuntut ilmu tidak mengenal usia. Bahkan dalam banyak posisi pengabdian masyarakat, seperti staf ahli di pemerintahan, justru lebih banyak diisi oleh individu berusia di atas 35 tahun.
“Ini bukan soal usia, tapi soal kompetensi. Jangan sampai muncul anggapan bahwa orang yang sudah berumur tidak layak sekolah lagi. Padahal banyak dari mereka yang masih punya semangat tinggi dan pengalaman yang mumpuni,” tegasnya.
Novaritha berharap, kebijakan pembatasan usia ini bisa dikaji ulang. Ia mengusulkan agar ada pengecualian bagi mereka yang memiliki rekam jejak pengabdian, prestasi, atau pengalaman kerja yang relevan.
“Misalnya bisa dengan melampirkan surat rekomendasi atau bukti prestasi akademik dan non-akademik, agar tetap memberi ruang bagi mereka yang ingin belajar,” tambahnya.
Ia juga membandingkan GratisPol dengan program Beasiswa Kaltim Tuntas yang lebih inklusif. Menurutnya, Beasiswa Kaltim Tuntas terbuka bagi siapa pun dengan seleksi yang mempertimbangkan berbagai kategori, seperti akademik, non-akademik, olahraga, hingga keagamaan.
“Kalau mau buat program baru, sebaiknya pelajari dulu program sebelumnya. Ambil yang baik, lalu sempurnakan, agar hasilnya lebih optimal,” jelasnya. (*)
Penulis: Muhammad Zulkifli
Editor: Redaksi Akurasi.id