Festival Ibu Bumi Menggugat: Seruan dari Samarinda untuk Keadilan Ekologi

Fajri
By
5 Views
Foto bersama Festival Ibu Bumi Menggugat. (ist)

Festival Ibu Bumi Menggugat di Samarinda menyerukan keadilan ekologi melalui diskusi, seni, dan solidaritas. Kritik terhadap PP No. 25/2024 menjadi sorotan, memadukan suara masyarakat untuk kelestarian lingkungan.

Kaltim.akurasi.id, Samarinda Kalimantan Timur, salah satu kawasan yang dijuluki paru-paru dunia, kembali menjadi sorotan dalam perdebatan besar mengenai kelestarian lingkungan. Pada 15 Desember 2024, Festival Ibu Bumi Menggugat resmi digelar di Samarinda dengan tema “Ta’awun untuk Keadilan Ekologi”. Acara ini diinisiasi oleh Kader Hijau Muhammadiyah bekerja sama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pokja 30, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Muara/Org, Perempuan Mahardhika, serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda.

Festival ini lahir dari keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah di Kalimantan Timur, provinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per November 2021, terdapat 476 izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur, mayoritas untuk penambangan batubara. Aktivitas tambang ini menyumbang hingga 70% pendapatan daerah, namun kerusakan ekologi yang ditimbulkan tidak bisa diabaikan.

Salah satu isu utama yang diangkat dalam festival adalah kritik terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024, khususnya Pasal 83A. Pasal tersebut memprioritaskan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dalam memperoleh izin usaha pertambangan, termasuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Kebijakan ini dianggap problematik karena berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki keahlian dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Gotong Royong Demi Keadilan Ekologi

Dalam diskusi utama festival, Fahmi Ahmad Fauzan, perwakilan dari Kader Hijau Muhammadiyah, menegaskan pentingnya gotong royong atau ta’awun dalam menghadapi krisis ekologi.

“Sebagai bagian dari gerakan kader hijau, kami percaya bahwa gotong royong adalah jalan memperjuangkan keadilan ekologi. Bumi ini adalah ibu kita yang harus dirawat bersama. Sayangnya, proyek-proyek besar seperti geothermal, tambang marmer, dan tambang batubara justru merusak ibu bumi dan menghancurkan ruang hidup kita,” ujar Fahmi.

Festival ini tidak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga ruang solidaritas dan jejaring bagi komunitas peduli lingkungan. Berbagai kegiatan digelar selama satu hari penuh, termasuk diskusi publik, pameran seni, dan panggung seni yang menampilkan tari, puisi, monolog, musik, hingga stand-up comedy. Seluruh kegiatan tersebut mengangkat isu sosial dan ekologi, sekaligus memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara.

Aidil, Ketua Panitia Festival Ibu Bumi Menggugat, menyebutkan bahwa acara ini merupakan bagian dari rangkaian roadshow sebelumnya yang telah diadakan di Trenggalek (Jawa Timur) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

“Kami ingin membuka wawasan anggota Muhammadiyah terkait pengelolaan tambang dan dampaknya terhadap lingkungan. Acara ini diharapkan memulai perdebatan konstruktif dalam tubuh Muhammadiyah, sekaligus memperbarui pemahaman dan kebijakan terkait isu-isu ekologi,” ujar Aidil.

Ia juga menyoroti adanya perbedaan pendapat di internal Muhammadiyah mengenai pengelolaan sumber daya alam. Festival ini diharapkan menjadi ajang refleksi bagi anggota Muhammadiyah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan mendorong keputusan yang lebih berpihak pada keberlanjutan lingkungan.

Narasumber Kompeten dan Harapan Keberlanjutan

Festival ini menghadirkan sejumlah narasumber berpengalaman, di antaranya Mareta Sari (Jatam Kaltim), Adinda Rahmadhani (PW IPM Kaltim), Parid Ridwanudin (LHKP PP Muhammadiyah), Yuda (AJI Samarinda), dan Arip Yogiawan (Koalisi Bersihkan Indonesia). Para narasumber mengupas cara menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian alam.

Festival Ibu Bumi Menggugat menjadi bentuk nyata perjuangan keadilan ekologi, dengan menanamkan nilai ta’awun untuk merawat bumi. Acara ini mengingatkan masyarakat akan tanggung jawab kolektif dalam menjaga kelestarian lingkungan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang. (*)

Penulis: Redaksi Akurasi.id

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *