Pengamat Ekonomi Unmul Purwadi menilai petani masih tercekik meski NTP naik. Pasalnya, naiknya NTP diiringi kenaikan inflasi, ditambah gencarnya impor beras.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Kesejahteraan petani di Kalimantan Timur (Kaltim) masih terancam. Meski nilai tukar petani (NTP) Kaltim pada Februari 2024 naik 1,61 persen dibandingkan Januari 2024. Namun, masih jauh tertinggal dari inflasi secara tahunan atau year on year sebesar 3,28 persen.
Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Purwadi Purwoharsojo menerangkan, naiknya nilai NTP yang baru saja dirilis BPS Kaltim ini tak berpengaruh banyak pada kesejahteraan petani. Karena, inflasi yang sama ikut naik juga.
“Tidak sebanding dengan kesejahteraan petani yang diharapkan terjadi peningkatan. Karena pembanding nya tetap harus tingkat ekonomi dan inflasi yang terjadi di Kaltim,” terang Purwadi saat oleh wartawan Akurasi.id, Sabtu (2/3/2024).
Nilai inflasi tersebut bahkan berada di atas nilai inflasi nasional, 2,62% secara tahunan. Bahkan untuk Kaltim sendiri, ada dua daerah yang inflasi nya di atas provinsi, yaitu Berau sebesar 4,14 persen dan Penajam Paser Utara (PPU) sebesar 3,71 persen.
Hal ini terjadi karena sumber daya alam (SDA) masih menjadi kontributor utama perekonomian di Tanah Benua Etam, sebutan lain Kaltim, sekira 40 persen. Sementara, sumbangan sektor pertanian hanya berada di sekitar angka delapan persen.
Jika pemerintah daerah tidak menyiapkan rencana transformasi ekonomi, lama-lama SDA akan habis. Dan tidak akan terjadi perubahan.
Inflasi Sebabkan Nilai Uang jadi Lebih Rendah
Seperti saat ini dimana sedang terjadi kesulitan pangan, sehingga menyumbang angka inflasi terbesar bersama sektor transportasi. “Ini kalau dibiarkan, kan kasihan masyarakat. Karena nilai uang jadi lebih rendah. Tidak dihargai uangnya. Dalam jangka panjang bisa bikin ekonomi kita tambah minus,” tambahnya.
Ia pun menyebut kejadian ini layaknya saat kenaikan UMR pada 2023 lalu. Kenaikan Rp60 ribu tersebut dinilai tak sebanding dengan inflasi yang ikut merangkak naik.
“Sekedar menyenangi buruh saja, tapi enggak cukup kalau bikin sejahtera. Artinya tambal sulam, itupun tambalnya enggak cukup,” imbuhnya.
Ia pun meminta keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini. Yaitu, segera mencari pengganti sumber pemasukan melalui SDA. Misalnya, dari sektor pertanian serta barang dan jasa. Meskipun memang bukan suatu hal yang mudah. Karena dibutuhkan infrastruktur yang kuat.
Sebenarnya, Kaltim sendiri sempat merencanakan hal itu. Mulai dari rencana Food Estate yang digagas oleh Gubernur ke-10 Kaltim, Awang Faroek Ishak. Hingga kedaulatan pangan yang digadang oleh Gubernur ke-11, Isran Noor. Hasilnya sama saja, nihil.
Akademisi Unmul ini pun meminta isu ketahanan pangan tidak hanya jadi sekedar kata. Apalagi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah ada di depan mata.
“Harus ada intervensi dari pemerintah agar inflasi semakin terkendali,” tuturnya.
Stop Lempar Tanggung Jawab Soal Kenaikan Harga Beras, Pemerintah Dinilai Harus Gencarkan Sidak
Selain itu, ia pun meminta agar pemerintah berhenti impor beras. Jika terus menerus dilakukan, maka yang akan sejahtera adalah petani dari negara lain. Sementara petani di negeri sendiri akan tetap bernasib lama, gigit jari.
Membeli beras di petani lokal, akan menaikkan nilai NTP. Bahkan, bisa jauh di atas nilai inflasi. Karena dorongan ekonomi dari sektor pertanian menjadi lebih banyak.
Ia pun menyayangkan sikap pemerintah yang saling lempar tanggung jawab. Menteri Pertanian menyebut dalam waktu dekat akan panen raya. Badan Bulog bilang persediaan beras masih tercukupi.
Menteri Perdagangan mengatakan harga naik akibat El Nino beberapa waktu lalu. Sementara itu, Bappenas terus diperintahkan untuk melakukan impor beras. Purwadi menyebut, ini dikatakan sebagai ego sektoral antar instansi. Tidak ada yang mau disalahkan.
Sikap pemerintah daerah pun tak luput dari sorotan. Beberapa waktu lalu, Pemkot Samarinda melalui dinas perdagangan (Disdag) baru saja menggelar operasi pasar murah.
20 ton ludes dipasarkan dalam kurun waktu sekira 45 menit. Ia mempertanyakan sikap Bulog, mempunyai stok banyak, namun justru tak hadir di saat harga beras naik setiap minggunya.
“Disimpan dimana kah barang itu? Habis dalam 45 menit enggak sampai satu jam. Emang kelaparan banget kah orang di Samarinda ini?” tanya Purwadi.
Ia justru curiga jika ada penimbun pada kegiatan tersebut. “Jangan jangan ada orang beli kupon terus berasnya di jual ke toko. Nah nanti sama toko diganti bungkus dijual lebih mahal,” ujarnya.
Pemerintah pun dinilai harus menggencarkan sidak. Agar tidak ada lagi penimbun nakal yang menyengsarakan rakyat. Untuk mengetahui siapa penimbunannya, maka pemerintah harus melakukan sidak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Apalagi harga beras diperkirakan terus naik hingga lebaran.
“Ini harus diintervensi ke seluruh wilayah tidak hanya di Samarinda. Distribusi harus clear jangan macet di suatu tempat,” tutup Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul ini. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Devi Nila Sari