Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Banjir seolah menjadi masalah klasik di Kalimantan Timur (Kaltim). Meski sudah berganti-ganti pemimpin, persoalan ini tak kunjung tuntas. Saat musim hujan tiba, wilayah-wilayah di tepian Sungai Mahakam, termasuk Samarinda, hampir selalu menjadi langganan genangan.
Bahkan, hujan yang hanya turun satu hingga dua jam saja sudah cukup membuat sejumlah titik di Ibu Kota Benua Etam itu terendam.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud mengusulkan pengerukan Sungai Mahakam sebagai langkah konkret mengurangi risiko banjir. Menurutnya, sedimentasi yang menumpuk selama dua dekade terakhir menyebabkan kapasitas tampung sungai terus menurun.
“Banjir ini salah satunya karena sungai tidak dikeruk selama 20 tahun. Sedimentasi menumpuk, jadi ketika musim hujan dan air pasang datang, air mudah meluap,” ujar Rudy saat diwawancarai awak media, beberapa waktu lalu.
Rudy mencontohkan sistem pengelolaan air di Belanda, di mana dataran wilayahnya bahkan lebih rendah dari permukaan laut. Namun, melalui sistem kanalisasi dan pengerukan sungai yang rutin, negara tersebut mampu terhindar dari banjir besar.
Baca Juga
Selain Belanda, ia juga menyinggung Sungai Barito di Kalimantan Selatan (Kalsel). Dahulu mengalami pendangkalan seperti Mahakam, kini sungai itu telah dalam dan dapat dilalui tongkang berkapasitas 16 ribu ton.
“Sekarang tongkang 400 feet bisa lewat di sungai Kalsel. Artinya, pengerukan memberi manfaat besar. Saya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan, tapi memang tantangannya ada di pendanaan,” ucapnya.
Rudy menyebut, biaya pengerukan bisa dikerjasamakan antara pemerintah pusat dan pihak ketiga, atau dilakukan langsung oleh pemerintah provinsi. Ia menegaskan, pengerukan menjadi kebutuhan mendesak agar banjir dari hulu seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, hingga Kukar tidak makin parah.
Andi Harun Punya Pandangan Berbeda
Wali Kota Samarinda Andi Harun punya pandangan lain terkait rencana tersebut. Ia mengapresiasi gagasan Gubernur, namun menilai pengerukan Mahakam bukan solusi utama untuk pengendalian banjir di Kota Tepian.
“Pengerukan sungai bisa berpengaruh, tapi biayanya sangat besar. Bisa lebih dari Rp5 triliun,” ujarnya.
Menurut Andi Harun, langkah itu lebih relevan untuk kepentingan pelayaran ketimbang pengendalian banjir. Sebab, beberapa insiden kapal tersangkut di dasar sungai memang pernah terjadi akibat pendangkalan.
Sebaliknya, ia menilai pengerukan Sungai Karang Mumus (SKM) jauh lebih berdampak langsung terhadap pengendalian banjir di Samarinda.
“Kalau untuk pengendalian banjir, fokus kita sebaiknya di Sungai Karang Mumus. Itu yang paling berpengaruh terhadap genangan di Samarinda,” tegasnya.
Andi juga menyampaikan, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda telah memiliki sejumlah program pengendalian banjir yang siap dijalankan. Namun, pelaksanaannya masih terkendala keterbatasan anggaran.
Baca Juga
“Kami siap berkolaborasi. Data dan hasil kajian Pemkot sudah ada. Tapi untuk realisasinya, tentu butuh dukungan pemerintah provinsi hingga pusat,” tukasnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id