
Anggota Komisi I DPRD Samarinda Abdul Khairin tidak setuju dengan putusan MA tentang penambahan tafsir usia calon kepala daerah. Sebab, dianggap melemahkan hukum.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai penambahan tafsir usia calon kepala daerah menuai beragam reaksi dari masyarakat, tak terkecuali Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Abdul Khairin.
Sebagai informasi, Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diumumkan pada Rabu 29 Mei 2024 mengubah batas usia minimal calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) dari 30 tahun saat penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan. Memungkinkan masyarakat yang usianya masih 29 tahun, belum mencapai 30 tahun mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Khairin menilai, momentum pilpres sepertinya akan terulang kembali. Di mana MA memutuskan untuk mencabut batas minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Inilah dinamika politik di level atas, kalau kita bicara setuju atau tidak setuju. Saya sebagai politisi menilai hal tersebut menggambarkan bahwa hukum di negara kita terlalu lemah dan dapat di modifikasi kapanpun. Dari kaca mata rakyat, inil realitas yang ada di negara kita,” ujar Khairin saat diwawancarai oleh awak media.
Ia menuturkan, bahwa penting orang mengerti terkait psikologi kepemimpinan, artinya memimpin satu komunitas besar memerlukan batas usia tertentu. Sebab, psikologi seorang pemimpin di usia cukup muda sangat rentan terhadap pressure psikologi, yang bisa mengganggu proses berjalannya sebuah kepemimpinan.
“Penentuan usia sebagai batas minimum seorang pemimpin sangatlah penting, apalagi dia akan memimpin dalam wilayah yang cukup besar. Wajar kita sangat khawatir dengan batasan usia jika kemudian dirubah kembali,” ucapnya.
Khairin Nilai Perubahan Undang-Undang Tidak Akan Terjadi Jika Pemimpin Memaknai Pancasila
Kemudian, ia menyangkutpautkan momentum hari lahir Pancasila dengan hal tersebut. Dirinya menyebut andai para pemimpin kembali kepada makna dalam Pancasila, rasa-rasanya kejadian ini tidak akan terjadi di Indonesia.
Di sila pertama ada Ketuhanan yang Maha Esa, kalau tuhan itu menjadi zat yang memang ditakutkan oleh pemimpin maka tidak akan ada yang namanya perbuatan zalim.
Di sila kedua ada Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, berbuat itu harus ada adab yang dijaga. Jika ada kepentingan politik, kemudian adab itu dipinggirkan. Maka akan berdampak pada sila ketiga yang bisa membuat terjadinya perpecahan, sehingga Persatuan Indonesia bisa rusak.
“Sila keempat ada Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Kita parlemen sudah seharusnya menjadi representatif rakyat, tapi fungsi itu tidak bisa berjalan maksimal. Sehingga, gampangnya pemerintah merubah undang-undang seperti apa yang mereka inginkan. Akhirnya sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat indonesia itu tidak terjadi,” pungkasnya. (Adv/dprdsamarinda)
Penulis: Dhion
Editor: Devi Nila Sari