Dilema Nelayan Muara Badak di Tengah Dugaan Pencemaran dan Benturan Kepentingan
Kaltim.akurasi.id, Kukar – Pertengahan Desember 2024, angin dari muara berembus lirih, menyapu wajah-wajah nelayan yang tertunduk dalam bisu. Air laut yang biasanya menjadi sahabat kini terasa asing, tak lagi memeluk dengan kelembutan, tak lagi memberi kehidupan. Di atas permukaan yang berkilauan oleh sisa-sisa cahaya bulan, terapung tubuh-tubuh kecil yang tak bergerak. Kerang-kerang yang semestinya menghidupi mereka, kini menjelma menjadi kuburan massal tanpa batu nisan.
Muhammad Yusuf menatap kosong ke arah perairan yang tak lagi menjanjikan. Tangannya gemetar, meraup air yang tak mampu menjawab, hanya membawa cerita pilu yang mengalir bersama ombak. Ia tak pernah menyangka, bahwa di penghujung tahun 2024 yang sunyi, kehidupannya bersama 299 nelayan lain akan berubah selamanya. Yang mereka alami bukan sekadar kerugian. Tapi, ini adalah kehancuran.
Awal Mula Tragedi di Perairan Keramba
Yusuf, masih ingat betul bagaimana semuanya bermula. Pada 18 Desember 2024, kabar buruk pertama pecah di udara. Tak ada badai, tak ada gelombang besar, tak ada pertanda. Hanya kematian yang diam-diam menyelinap, merampas harapan tanpa ampun. Para nelayan di pesisir Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara mulai menemukan kerang dara mereka mati di keramba. Bukan hanya sebagian, tetapi semuanya.
Mereka kemudian berusaha mencari jawaban, menyusuri aliran air hingga ke muara. Dan pada 28 Desember 2024, mereka menemukan luka yang menganga. Diduga berasal dari penampungan limbah galian RIG GWDC 16 milik PT. Pertamina Hulu Sanga Sanga (PT.PHSS) yang terbuka. Air yang mestinya jernih berubah pekat, mencemari muara, membunuh rezeki yang telah mereka rawat dengan tangan-tangan kasar penuh harapan.
Kerugian mereka tak main-main. Yusuf dan keluarganya kehilangan 37 ton bibit kerang dara yang semestinya menghasilkan 150 ton panen atau senilai Rp 2,7 miliar. “Saya beserta keluarga inti menginvestasikan uang senilai Rp 300 juta. Dengan harga bibit sekitar Rp8 ribu. Artinya, ada sekitar 37 ton. Satu ton bibit bisa menghasilkan empat ton panen, dengan harga jual Rp 18 ribu. Jadi kalau diasumsikan total kerugian saya sekitar 150 ton. Hampir tiga miliar,” kata Yusuf kepada Akurasi.id, Minggu (23/02/2025).
Nelayan lainnya, Jusman, yang telah bertahun-tahun menekuni budidaya, juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Seharusnya, dia bisa memanen 28 ton dari bibit yang ia tabur sebanyak tujuh ton. “Bahkan, kerang yang kami ekspor ke Thailand semua ditolak. Semua mati di perjalanan. Ada sedikit yang masih hidup. Tapi tidak layak konsumsi,” kata Jusman.
Tak hanya Yusuf dan Jusman, nelayan lainnya, Abdul Samad juga terpaksa harus menghela napas. Tahun lalu, ia menabur 9,6 ton bibit dan meraup keuntungan lebih dari Rp300 juta. Tahun ini, ekspektasinya musnah. “Menangis saya di keramba lihat hasilnya. Tidak ada yang tersisa. Semua mati. Harapan mobil Pajero hilang dari bayangan,” ujarnya Abdul Samad getir.
Lanjut Yusuf, kuat dugaan terjadi pencemaran. Pasalnya, air di sekitar rig pengeboran berubah, mulai dari warna dan aromanya. Limbah itu, kata Yusuf, bisa saja terbawa arus akibat hujan deras dan pasang surut air laut. “Temuan kami, tanggul penampungan limbah milik PT PHSS jebol. Alhasil, ketika air pasang, limbah itu mengalir langsung ke muara. Sehingga, laut jadi jadi tercemar. Dampaknya, keramba kerang dara kami juga kena imbasnya,” tambahnya.
Tim Akurasi.id juga sempat menyambangi lokasi yang ditengarai menjadi awal mula tragedi ini. Yakni kolam penampungan limbah milik PT PHSS yang berada di Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, Senin (17/02). Kunjungan ini dilakukan untuk menelusuri lebih jauh dugaan pencemaran lingkungan yang mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Saat tiba di lokasi, tim menemukan bahwa area tersebut telah dipasangi garis polisi (police line). Keberadaan police line ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat fasilitas penampungan limbah biasanya tidak memerlukan pengamanan khusus kecuali ada indikasi pelanggaran atau investigasi yang tengah berlangsung.
Selain itu, beberapa petugas keamanan terlihat berjaga ketat di sekitar area tersebut, memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan atau dalam proses penyelidikan.
Dari hasil pantauan langsung, jarak antara kolam penampungan limbah dengan muara hanya sekitar 300 meter. Posisi yang cukup dekat ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pencemaran lingkungan, terutama jika limbah yang ditampung mengandung zat berbahaya. Kuat dugaan, limbah yang berada di lokasi ini berasal dari aktivitas pengeboran RIG, yang umumnya menghasilkan limbah berbahaya jika tidak dikelola dengan baik.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak PT PHSS maupun otoritas terkait mengenai status dan pengelolaan limbah di lokasi tersebut. Namun, keberadaan police line dan penjagaan ketat semakin memperkuat spekulasi bahwa ada masalah serius terkait limbah yang ditampung di sana.
Pencemaran Mengancam Pesisir?
Muhammad Busyairi, akademisi Teknik Lingkungan Universitas Mulawarman, bilang proses pengolahan air limbah dari eksplorasi migas memiliki standar ketat. Limbah dari proses pengeboran (drilling) memang harus ditampung terlebih dahulu dan diuji parameternya sebelum dilepas ke lingkungan. Jika dibuang ke perairan umum, seperti wilayah pesisir yang memiliki aktivitas nelayan dan permukiman, standar baku mutunya harus lebih ketat dibandingkan kolam penampungan biasa.
“Kalau di kolam penampungan tanpa makhluk hidup, airnya aman saja. Tapi kalau masuk ke perairan yang ada aktivitas nelayan, bisa jadi masalah,” katanya.
Dia melanjutkan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, semua perencanaan terkait pengelolaan limbah harus dituangkan dalam dokumen UKL-UPL. Dokumen ini menentukan apakah limbah ditampung, berapa parameternya, dan di mana akan dilepaskan. Jika ditemukan bahwa air limbah yang dilepas melebihi baku mutu, secara hukum itu bisa dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan.
Lanjut Busyairi, pencemaran lingkungan hanya dapat dibuktikan melalui uji laboratorium. “Kalau hanya visual—melihat airnya keruh atau mencium bau asin—itu belum cukup. Harus ada analisis laboratorium yang independen dan bersertifikasi,” ujarnya.
Dia juga bilang, pencemaran lingkungan akibat logam berat tidak akan hilang begitu saja. “Endapan logam berat bisa terakumulasi di kerang dan lumpur di dasar perairan. Jika sampel menunjukkan kesamaan antara kandungan lumpur di kolam pengolahan PHSS dan di perairan umum, maka bisa diduga ada aliran limbah dari sana (kolam penampungan limbah),” jelasnya.
Nelayan Tuntut Kejelasan
Setelah mengumpulkan bukti, para nelayan melaporkan kejadian tersebut ke kepala desa dan perusahaan pada 28 Desember 2024. Sehari kemudian, mereka juga melapor ke pihak berwenang, dan pada 30 Desember, pihak perusahaan melakukan perbaikan tanggul yang jebol. Selain itu, nelayan mencurigai adanya penggunaan bahan kimia seperti kapur dan alum yang disemprotkan ke area tersebut setelah laporan mereka masuk.
“Kami menduga penyemprotan yang dilakukan PT PHSS itu sebagai upaya untuk menetralkan limbah,” tegas Yusuf.
Pada 31 Desember 2024, nelayan menghadiri mediasi pertama dengan pihak perusahaan. Namun, jawaban yang diterima dinilai tidak memuaskan. Pihak perusahaan menyatakan bahwa limbah di sekitar lokasi pengeboran ramah lingkungan, tetapi masyarakat tidak begitu saja menerima klaim tersebut.
Setelahnya, nelayan kembali melaporkan kejadian ini ke Polres Bontang pada akhir Desember atau awal Januari 2025. Selanjutnya, pada 8 Januari 2025, perwakilan nelayan menghadiri rapat mediasi di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kukar, bersama DPRD dan pihak perusahaan. Dalam pertemuan tersebut, PT PSSH menyatakan akan memberikan bantuan sosial kepada nelayan selama masa pembuktian, tetapi jumlahnya belum ditentukan.
Kesal dengan ketidakpastian, pada 9 Januari 2025, para nelayan melakukan aksi spontan dengan menumpahkan ratusan kilogram kerang dara yang mati di sekitar lokasi RIG GWDC 16. Pada subuh 10 Januari, mereka kembali dimediasi, dan dalam pertemuan itu muncul usulan tali asih sebesar Rp10 juta per nelayan. Namun, Pihak PT PHSS meminta perusahaan lain ikut berkontribusi karena kasus ini dikategorikan sebagai bencana lingkungan, bukan pencemaran industri.
Aksi Protes di Gerbang PT PHSS
Pemerintah turun tangan, tapi keadilan berjalan seperti kura-kura pincang. Sampel baru diambil pada 23 Januari 2025, sementara bagi para nelayan, waktu bukan sekadar angka di kalender. Waktu adalah hidup yang terus terkikis, utang yang menumpuk, piring-piring yang kosong.
Hari-hari berlalu dalam keputusasaan, hingga akhirnya, mereka memilih untuk bertindak. Pada 4 Februari 2025, mereka datang ke gerbang PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS), mereka kembali menumpahkan kerang-kerang mati di pintu masuk. Esoknya, pada 5 Februari 2025, mereka melangkah lebih jauh, ke rig pengeboran, tempat jantung dari segala malapetaka ini berdenyut. Mereka menghentikan pengeboran sebagai bentuk tekanan.
Polisi kemudian mengizinkan aksi demo tetap berlangsung, tetapi hanya di depan gerbang utama perusahaan. Hari demi hari mereka bertahan. Suara mereka menggema di antara debur ombak dan terik matahari. Karena tuntutan mereka tidak kunjung dipenuhi, pada 9 Februari 2025, nelayan mendapat dukungan dari berbagai elemen seperti KNPI Muara Badak dan Persatuan Pemuda Muara Badak (PPMB). Aksi semakin besar, para nelayan melakukan demo selama delapan hari berturut-turut, hingga pada 12 Februari mencapai puncaknya.
Water Cannon dan Penangkapan Nelayan
Senja baru saja merayap di langit Muara Badak ketika deru suara manusia bercampur dengan angin laut yang asin. Ratusan nelayan, mahasiswa, dan pemuda berkumpul di depan gerbang PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). Mereka bukan sekadar berteriak, melainkan menuntut hak yang telah dirampas. Laut mereka yang kini dikepung korporasi, hak mencari nafkah yang dicabik tanpa belas kasihan.
Beberapa nelayan tua dengan kerutan sedalam samudra di wajahnya, berdiri di barisan depan. Tangannya yang kasar akibat bertahun-tahun bertarung dengan ombak menggenggam erat spanduk bertuliskan “Laut Kami, Nafkah Kami!” Suaranya parau, tetapi nyalinya tak goyah. Di barisan belakang, puluhan pemuda dari Ikatan Pemuda Muara Badak, berdiri dengan sorot mata membara.
Tampak mereka bergantian menyampaikan orasi, hingga tepat pukul 18.00 Wita, dari kejauhan, suara deru mesin mulai mendekat. Truk polisi dan kendaraan water cannon bergerak perlahan, seperti raksasa besi yang siap melumat manusia. Kapolres Bontang, AKBP Alex FL Tobing, berdiri tegak memimpin pasukan, matanya mengamati massa dengan tajam.
“Ini peringatan terakhir!” suaranya bergema melalui pengeras suara. “Bubar sekarang, atau kami akan mengambil tindakan!” teriak Kapolres.
Tak ada yang bergeming. Nafas mereka satu, tekad mereka bulat. Lalu, segalanya berubah menjadi kekacauan. Air menyembur dari moncong water cannon, menghantam tubuh-tubuh yang lelah namun tetap berdiri. Beberapa nelayan terpelanting, tubuh mereka yang kurus menghantam aspal yang keras. Jeritan menggema. Sepasang mata yang tadi menyala dengan semangat kini meredup, redup bukan karena kekalahan, tetapi karena kepedihan yang lebih dalam; bahwa di negeri ini, keadilan masih kalah oleh kuasa.
“Kami tidak melakukan perusakan ataupun perlawanan, tapi tetap diperlakukan seperti ini. Jika kami melawan, kami dianggap anarkis. Jika diam, kami diinjak-injak,” keluh Yusuf.
Massa berlari, dikejar hingga simpang tiga pintu 1 PHSS. Sepuluh orang ditangkap, termasuk Yusuf. Mereka dibawa ke dalam mobil polisi, diinterogasi hingga dini hari. Selama 33 jam mereka menjalani pemeriksaan. Pada Jumat, tepat pukul 03.30 dini hari, mereka dibebaskan. Namun, tak semua bisa kembali seperti sedia kala. Tujuh orang wajib lapor, sementara tiga koordinator lapangan masih harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Kapolres Bontang, AKBP Alex Frestian Lumban Tobing, menegaskan bahwa tindakan itu diambil demi menjaga ketertiban umum. “Kami sudah berusaha mengedepankan dialog dan mediasi. Tapi saat situasi semakin tidak kondusif, kami terpaksa mengambil langkah tegas,” katanya.
Menanti Hasil Uji Lab
Sejak pengambilan sampel 23 Januari 2025 lalu. Hingga kini, belum ada hasil dari uji laboratorium yang dilakukan oleh Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Kepada Akurasi.id, Sekretaris Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Sunggono, mengungkapkan bahwa pemerintah belum dapat mengambil keputusan tegas lantaran masih menunggu hasil. Kata dia, pihaknya juga telah melakukan berbagai upaya, termasuk mediasi dengan pihak terkait, mulai dari perusahaan, DPRD, hingga Pertamina. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa serta-merta memberikan sanksi atau memenuhi tuntutan masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas.
Nelayan terdampak mendesak perusahaan untuk memberikan tali asih sebagai bentuk kompensasi. Namun, pemerintah masih mempertimbangkan aspek hukum sebelum mengambil langkah lebih lanjut. “Kami ingin mengawal dan memastikan semua pihak memenuhi kewajiban serta kewenangannya dalam menyelesaikan masalah ini,” ujar Sunggono.
Dia juga bilang, pihak pemerintah belum bisa memberikan keputusan terkait bantuan bagi masyarakat. “Kami harus membahas lebih dalam dan memahami duduk perkaranya secara pasti. Tidak bisa hanya berdasarkan indikasi semata,” tegasnya.
Dalam upaya menelusuri dugaan pencemaran, Pemkab Kukar telah memerintahkan Asisten I serta menurunkan tim dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) untuk melakukan investigasi.
“Hasilnya belum saya terima dari Asisten I, apakah ada indikasi pencemaran atau tidak. Apalagi sampel yang diambil sudah cukup lama sejak dugaan pencemaran terjadi, sehingga objektivitasnya agak sulit ditentukan,” kata Sunggono.
Pemerintah mengaku ingin segera menyelesaikan polemik ini, namun proses investigasi masih berjalan. “Saya ingin cepat, tetapi prosesnya masih berjalan,” tambahnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala DLHK Kukar, Slamet Hadiharjo membenarkan adanya pengambilan sampel air pada 23 Januari untuk diuji di laboratorium Universitas Mulawarman. Namun, hingga saat ini hasilnya belum keluar.
“Kami masih menunggu. Jika terbukti ada pencemaran, tentu akan ada sanksi,” ujar Slamet Hadiharjo.
Pemerintah Dituding Lamban
Di lain sisi, Ketua Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Mareta Sari, justru mengkritik sikap pemerintah daerah yang cenderung lamban. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini seolah membiarkan masyarakat menghadapi dampak pencemaran sendirian.
“Kita harus mendesak pemerintah untuk bertindak tegas, bukan hanya menekan perusahaan. Kalau hanya menekan perusahaan, mereka (PT PHSS) akan terus mengulangi hal yang sama,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera bertindak, situasi bisa semakin rumit dan berpotensi memicu konflik, baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun dengan aparat keamanan.
“Pemerintah harus mengambil peran lebih besar dan cepat menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai ada kekerasan yang tidak kita inginkan. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal kehidupan warga. Kalau piring nasi mereka sudah terhambur dan mereka kehilangan mata pencaharian, itu adalah tanggung jawab negara,” tegasnya.
Perusahaan Lempar Tanggung Jawab?
Media ini sudah berusaha melakukan upaya konfirmasi kepada pihak PT PHSS. Dengan memberikan beberapa pertanyaan terkait masalah tersebut. Namun, PT PHSS memilih berhati-hati dalam memberikan pernyataan. Melalui Dony Indrawan, Manager Comrel & CID PT Pertamina Hulu Indonesia, PT PHSS tidak secara gamblang membantah atau mengakui dugaan pencemaran yang terjadi, melainkan menyebutkan bahwa Pemkab Kutai Kartanegara sedang meneliti penyebab kejadian ini.
“Perusahaan berharap semua pihak menghormati dan mengikuti proses yang dilakukan bersama instansi terkait yang berwenang. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga keamanan dan keselamatan aset hulu migas yang merupakan barang milik negara dan objek vital nasional,” ujar Dony melalui pesan WhatsApp yang diterima Akurasi.id.
Dalam perkembangan lain, PT PHSS dilaporkan telah melayangkan laporan ke kepolisian terkait dugaan penghasutan dalam aksi demonstrasi. Langkah ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai upaya membungkam aspirasi masyarakat ketimbang mencari solusi konstruktif atas permasalahan yang mereka hadapi. Perusahaan menyatakan bahwa sebagai operator aset hulu migas bagi pemerintah, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan keamanan fasilitas operasi migas yang merupakan objek vital nasional.
“Kami harus menjaga keamanan aset hulu migas sebagai objek vital nasional,” tambahnya.
Saat disinggung soal kemungkinan kompensasi bagi nelayan yang terdampak, PT PHSS menegaskan bahwa mereka menghormati langkah yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam menangani permasalahan ini. Perusahaan juga belum memberikan kejelasan terkait skema bantuan yang dapat diberikan kepada nelayan jika terbukti ada dampak lingkungan akibat aktivitas mereka.
“Perusahaan selalu hadir dalam mediasi dan koordinasi. Kami menunggu hasil uji laboratorium sebagai dasar pengambilan keputusan,” katanya.
Bagi nelayan Muara Badak, perjuangan belum berakhir. Mereka masih menunggu hasil uji laboratorium. Mereka masih menanti tanggung jawab dari perusahaan. Dan yang paling penting, mereka masih berjuang untuk mendapatkan kembali kehidupan yang hilang.
Di laut yang semakin keruh, harapan mereka masih mengapung. (*)
Penulis: Dwi Kurniawan Nugroho
Editor: Fajri Sunaryo