Fenomena takut menikah di kalangan Gen Z semakin nyata. Data menunjukkan penurunan angka pernikahan muda, dengan trauma perceraian orang tua sebagai salah satu pemicu utama.
Kaltim.akurasi.id, Samarinda – Tren menikah muda semakin memudar di kalangan Generasi Z. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proporsi perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah menikah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, khususnya pada periode 2021 hingga 2023.
Di Indonesia, pada 2021 tercatat 9,23 persen perempuan dalam rentang usia tersebut telah menikah. Angka ini menurun menjadi 8,06 persen pada 2022 dan semakin berkurang pada 2023, yaitu 6,92 persen.
Kalimantan Timur (Kaltim) juga mengalami tren serupa. Pada 2021, sebanyak 8,64 persen perempuan usia 20-24 tahun telah menikah. Persentase ini turun menjadi 7,22 persen pada 2022 dan lebih rendah lagi pada 2023, yakni 6,3 persen.
Trauma Perceraian Orang Tua
Ketakutan untuk menikah muda bukan tanpa alasan. Salah satu pemicu utama adalah pengalaman pahit melihat perceraian orang tua. Hal ini membentuk pandangan baru di kalangan Gen Z mengenai pernikahan.
Nurfa (24), salah satu perempuan yang mengalami hal tersebut, mengaku masih enggan menikah karena pengalaman pahit orang tuanya yang telah bercerai.
“Bukan hanya karena kondisi keluarga, tapi juga tekanan sosial dari orang-orang sekitar yang secara tidak langsung menimbulkan trauma,” ujarnya kepada Akurasi.id pada Minggu (23/2/2025).
Ia kerap mendengar komentar yang menyudutkan, seperti, “Kalau nikah jangan kayak orang tuamu yang gagal.” Perkataan semacam itu membuatnya takut akan kegagalan dalam pernikahan dan khawatir dinilai wajar jika mengalami hal yang sama.
Meski demikian, keinginan menikah tetap ada. Saat ini, ia berusaha mengatasi ketakutannya dan mempersiapkan diri agar lebih siap menghadapi pernikahan di masa depan.
Ketika ditanya apakah ia takut memiliki pasangan yang juga berasal dari keluarga broken home, Nurfa justru merasa lebih nyaman.
“Kita sudah sama-sama tahu kondisinya, jadi enggak perlu menjelaskan lagi. Kita bisa cari jalan keluar bersama supaya hal yang sama enggak terulang di generasi kita nanti,” tuturnya.
Minimnya Figur Ayah
Kondisi serupa dialami Nabila (21). Perceraian orang tuanya membuatnya tumbuh tanpa figur laki-laki dewasa yang bisa dijadikan panutan dalam kehidupan.
“Aku enggak punya sosok ayah dalam hidup. Jadinya, aku terbentuk jadi orang yang kasar. Makanya, beberapa tahun ini aku enggak menjalin hubungan dengan siapa pun,” ungkapnya.
Menurut Nabila, sikap kasarnya terhadap laki-laki adalah bentuk perlindungan diri. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan yang lemah hanya karena berasal dari keluarga broken home.
“Aku takut kalau suatu saat ada laki-laki yang merasa berhak mengisi sosok ayah dalam hidupku dan bertindak semena-mena,” tambahnya.
Pola Asuh Juga Berpengaruh
Tak hanya mereka yang berasal dari keluarga broken home, perempuan yang tumbuh dalam keluarga utuh pun bisa mengalami ketakutan serupa. Lani (28) mengaku belum menikah hingga kini karena pengalaman tumbuh dalam keluarga patriarki.
Meskipun keluarganya utuh, ia merasa kurang mendapatkan dukungan untuk mengejar cita-cita. Sebagai perempuan, ia dituntut untuk bisa melakukan banyak hal, tetapi hanya diberi pendidikan seadanya.
“Sosok ayah ada, tapi perannya enggak terasa. Padahal, keluargaku utuh,” jelasnya. (*)
Penulis: Yasinta Erikania Daniartie
Editor: Redaksi Akurasi.id